Viewers

"The mind is like an iceberg, it floats with one-seventh of its bulk above water." ~ Sigmund Freud

Sabtu, 16 Januari 2016

Mewujudkan Indonesia Damai, Sebuah Refleksi Psikologis

Kasus terorisme tidak terbatas pada bom bunuh diri dan baku tembak semata. Terorisme memiliki tujuan sensasional sehingga seluruh masyarakat harus memusatkan perhatian pada setiap aksi yang dilakukan oleh para teroris. Aksi ini bukan sekedar aksi layaknya seorang demonstran yang melakukan protes terhadap suatu kebijakan. Pelaku-pelaku terror menebarkan ketakutan melalui tindak kekerasan yang mampu mengintimidasi setiap orang serta mengubah pandangan mereka mengenai kondisi aman. Rasa takut inilah yang nantinya menjadi senjata psikologis bagi pelaku teror untuk mengencangkan tujuan dalam menguasai suatu wilayah. Warga sipil yang notabennya kurang memiliki pengetahuan perang serta persenjataan lengkap tentu berpotensi lebih besar untuk menjadi korban.

Menelusuri jejak kasus-kasus yang berkaitan dengan terorisme di Indonesia, yang paling menarik adalah kisah trio Bom Bali Amrozi, Imam Samudra dan Ali Ghufron alias Mukhlas. Mereka menjadi selebritis baru di dunia kriminal, mengalahkan kasus-kasus korupsi, pembunuhan, dan narkoba. Kasus Bom Bali I yang memakan kurang lebih 202 korban jiwa tentunya memiliki dampak traumatis terhadap masyarakat luas. Kewaspadaan mulai meningkat, bahkan tak jarang terjadi diskriminasi pada kelompok-kelompok tertentu yang identik dengan identitas terorisme. Kejadian ini seakan menjadi buku baru bagi kekuatan teroris untuk menancapkan ideologinya sehingga muncul serentetan peristiwa bom yang tak kalah mengerikan seperti Bom Bali II pada tahun 2005.

Peristiwa yang berkitan dengan terorisme di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak 1981, yaitu ketika penerbangan maskapai Garuda Indonesia dibajak oleh lima orang teroris. Mereka bersenjatakan senapan mesin dan granat, serta mengaku sebagai anggota Komando Jihad. Alhasil, salah seorang kru pesawat, seorang tentara komando, dan 3 teroris tewas dalam peristiwa tersebut. Serangkaian kejadian teror di Indonesia selanjutnya didominasi oleh bom dan isu SARA, sebagaimana saat ini Bom Jakarta menjadi sorotan utama dunia karena berkaitan dengan kelompok teroris terkuat, yaitu ISIS. Kemunculan ISIS sebenarnya banyak menimbulkan tanda tanya bagi masyarakat dunia. ISIS seolah-olah terbentuk karena adanya konflik politik suatu Negara sehingga berfungsi sebagai senjata perang dengan idealisme fanatik. Fanatisme inilah yang membuat ISIS merasa pongah dan gencar memperluas kekuatannya, mengingat tujuan utama mereka tetap berada dalam posisi kekuasaan dunia.

Kecaman demi kecaman terasa bagai angin lalu. Terorisme memang mengerikan, namun bukan satu-satunya masalah yang mampu menjatuhkan mental masyarakat. Sejak zaman penjajahan, rakyat Indonesia telah terbiasa sengsara. Berbagai teror bom yang terjadi mungkin tak lebih dari secuil dari adegan kekerasan yang telah melanda Negara ini berabad-abad. Namun bukan berarti menganggap remeh terorisme merupakan hal yang benar. Mewujudkan Negara damai dan sejahtera akan membutuhkan proses, terutama menghalau fanatisme yang berujung kejahatan kemanusiaan. Masyarakat adalah elemen utama dalam membangkitkan kesadaran akan penentangan pemikiran radikal sehingga tak berujung pada aksi terorisme.

Rakyat Indonesia memiliki beraneka ragam suku dan budaya. Semua itu telah tercakup dalam ideologi Pancasila. Refleksi Ideologi Negara adalah toleransi dengan meyakini bahwa setiap manusia memiliki hak dan keyakinan yang berbeda-beda. Memaksakan pemikiran dan keyakinan merupakan perilaku intoleransi yang sama sekali tidak mencerminkan pribadi bangsa. Memahami manusia dengan pendekatan kognitif, terutama pada proses berpikir akan memberikan dampak positif karena dapat mewujudkan sikap toleransi dalam diri individu. Terorisme tidak akan terjadi jika tidak ada dukungan baik secara kekuatan maupun situasi, sehingga sangat perlu bagi masyarakat untuk melakukan pengendalian diri. Mewujudkan Indonesia sebagai Negara yang damai dan sejahtera memang tidak mudah, akan tetapi hal tersebut merupakan kewajiban kita sebagai warga Negara. Salam damai untuk Indonesia!


Ditulis oleh Anindya Gupita Kumalasari

2 komentar:

  1. Saya kok kurang melihat aspek psikologinya disini. Malah terkesan dangkal dan kurang mendalam. Mungkin admin bisa menambah referensi2 psikologi (better be scientific) untuk memperkaya artikel ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas sarannya. Artikel di atas memang lebih cenderung ke esai refleksi saja. Kalau artikel-artikel yang lebih scientific akan lebih banyak kami gunakan pada postingan-postingan berikutnya.

      Hapus

Terima kasih, kami akan segera memberi tanggapan pada komentar anda.