Viewers

"The mind is like an iceberg, it floats with one-seventh of its bulk above water." ~ Sigmund Freud

Jumat, 01 Januari 2016

Sebuah Prolog, Membangkitkan Soe Hok Gie

Pesonanya tak pernah lekang oleh pergantian zaman. Setidaknya bagi mereka yang peduli akan serentetan sejarah pergerakan. Dia adalah seorang mahasiswa yang hidupnya begitu singkat, namun sempat berjaya pada era peralihan. Entah apa yang membuat semangatnya kini terlihat rentan. Seolah tak lagi etis bagi kalangan mahasiswa untuk menjadi seorang demonstran. Bukan tanpa sebab tentunya tatkala budaya untuk bersuara mulai menghilang perlahan. Tak aneh pula bilamana membela dianggap sebagai kegagalan etika pemikiran karena ujung tombak kekuasaan telah menjajah dunia pendidikan.


source http://azquotes.com

Politisasi semakin berpijak pada esensi kepentingan. Soe Hok Gie menyiratkan semua itu dalam aksi menuju perubahan. Tak jarang digoreskannya idealisme pada tulisan, meski bertubi dirinya mendapat cibiran. Kisah Gie hanya menderu sebagai biografi mahasiswa cerdas, vokal, serta kritis terhadap pemerintahan. Para akademisi sekarang justru sibuk pada sejarah-sejarah elite, filsafat berkelas, serta pencarian data demi industri kekuasaan. Demonstrasi dianggap tabu, tak layak, serta mengganggu jalannya aktivitas umum kemasyarakatan. Anarkisme dijadikan sebuah alasan. Padahal jalan damai yang terbentang tak juga kunjung dihiraukan.

Memang kita tidak harus berteriak turun ke jalan-jalan. Tetapi bukan berarti tak ada celah menjunjung tinggi realitas kebenaran. Mahasiswa adalah tempat dimana sesungguhnya rakyat menaruh harapan. Rakyat tak ingin mengulang kebodohan di masa penjajahan. Tiga setengah abad kolonialisme bukanlah waktu yang singkat hingga dengan mudahnya terlupakan. Namun apa daya mahasiswa zaman sekarang, memaknai aksi saja bulu kuduknya sudah berdiri ketakutan. Padahal aksi tak selamanya dilakukan dengan kekerasan.

Soe Hok Gie adalah sebuah epik dalam sejarah berkembangnya peradaban. Karyanya menyiratkan identitas mahasiswa yang seharusnya tak lagi tunduk terhadap lektor maupun kurikulum oplosan. Sederhana, bukan memuat kepentingan agar selalu melancarkan protes atas ketidakpuasan. Bukan pula menciptakan sebuah aksi tanpa mengulasnya dalam bentuk kajian. Mahasiswa sesugguhnya adalah kaum yang berpikir, realistis, serta pluralis dengan tidak memihak golongan. Cukup bangkitkan jiwanya tanpa harus menunggu Negara kita di ambang kehancuran.

Ditulis oleh Anindya Gupita Kumalasari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, kami akan segera memberi tanggapan pada komentar anda.