Viewers

"The mind is like an iceberg, it floats with one-seventh of its bulk above water." ~ Sigmund Freud

Selasa, 05 Juli 2016

Urgensi Kesadaran Subordinate goal Hak dan Kewajiban dalam Masyarakat Multikultural untuk Menegakkan Perdamaian


 “We make war that we may live in peace” – Aristoteles (384-322 SM)
Aristoteles merupakan salah satu filsuf paling berpengaruh dalam peradaban Barat modern. Oleh karena itu, dalam memahami pernyataan Aristoteles di atas memerlukan pemahaman lebih lanjut. Apakah benar, kita membutuhkan perang untuk menciptakan kedamaian? Pertanyaan menggelitik itu sebenarnya terjawab secara implisit dalam teori perkembangan Jean Piaget. Piaget berpendapat, manusia secara kognitif akan menemukan konflik klasik: assimilation dan accommodation. Manusia senantiasa akan menemui ketidakcocokkan pemahaman antara konsep yang dimiliki dengan fenomena yang terlihat, dilanjutkan dengan munculnya konsep baru setelah konflik tersebut terjadi (Miller, 2011).
Kolaborasi Aristoteles dan Piaget di atas, nyatanya tak bisa diterima secara universal. Banyaknya persepsi dan situasi di seluruh dunia, menyebabkan  definisi damai bukan hanya milik mereka, ratusan bahkan ribuan tokoh berpengaruh di dunia telah menyebarkan kata-kata mutiara mengenai perdamaian, namun sebenarnya, adakah persepsi yang sama mengenai hal itu?
Pertanyaan tersebut dicoba untuk dijawab oleh Anderson (2004). Dalam tulisannya, Anderson mencoba untuk menghimpun pengertian-pengertian tentang perdamaian. Kesimpulannya, adalah sebuah konstruk two-dimensional yang saling berinteraksi antara lingkup perdamaian dan persepsi kedamaian itu sendiri.

Tabel 1 Reduced context of peace. Diperoleh dari Anderson (2004).
Dalam model tersebut, diperlihatkan bahwa perdamaian telah memiliki berbagai konteks, tergantung dimana masalah tersebut terjadi, kondisinya, serta urgensi pemenuhan kebutuhan akan perdamaian itu sendiri. Anderson (2004) melanjutkan, perdamaian dapat diukur secara obyektif dan subyektif, dampak kekerasan dan harmoni pada situasi tersebut, serta dibahas dalam konteks tertentu.
Menanggapi model perdamaian yang berhubungan dengan kekerasan dan harmoni, lantas menimbulkan sebuah pertanyaan. Pada model masyarakat seperti apakah perdamaian dapat hadir? Konsep perdamaian kerapkali dikaitkan dengan model masyarakat yang bersifat pluralistis. Bersikap plural, atau majemuk (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2015). Namun, konsep pluralitas dan pluralisme yang merupakan jargon dalam menghadapi penghinaan SARA (seks, agama, ras, dan antar golongan), seringkali tak mendapatkan pemaknaan yang global. Terkait plural, apakah kemajemukan hanya terkait kebersamaan atau terkait pandangan kebenaran?
Bagaimanapun, konsep perdamaian dan masyarakat plural, akhirnya saling melengkapi dalam memandang definisi yang lebih operasional mengenai perdamaian. Pada konteks intrapersonal, hal ini dapat dilihat dari model penerimaan diri antara ideal self dan real self dari Rogers, dibutuhkan untuk mencapai kesejahteraan individu (Feist, Feist, & Roberts, 2013). Masyarakat plural, memiliki dinamika masing-masing dalam menjalani kehidupan dengan konflik seminimal mungkin untuk menghindari pertikaian.
Dinamika pada masyarakat plural (heterogen) inilah yang akhirnya sering ditelaah oleh para peneliti untuk mencari tahu esensi perdamaian dalam konteks interpersonal. Namun, stigma atas ras tertentu, hingga peraturan masyarakat, mungkin menghalangi terjadinya konflik. Saat itulah, kita diminta untuk paham bahwa konsepsi perdamaian sendiri merupakan sesuatu yang utopis, dikarenakan ia bagai paradoks Zeon terhadap alam. Perdamaian konteks makro akan terus dibelah untuk menemukan konflik yang lebih kecil, hingga akhirnya berada dalam konflik intrapersonal, yang selalu terjadi dalam diri kita.
Mungkinkah Perdamaian Diwujudkan?
The Robbers Cave Experiment adalah penelitian tahun 1996 dari Sherif, dkk. yang menceritakan konflik antarkelompok dan pemecahannya adalah subordinate goal, atau tujuan untuk kepentingan bersama yang harus dikerjakan bersama-sama (Ariyanto, 2012). Pada konteks eksperimen Sherif, awalnya kedua kelompok eksperimen (anak-anak pramuka), memiliki karakteristik homogen, sebelum adanya pengelompokan baru dan pemberian kompetisi. Artinya, kelompok yang homogen pun dapat berkonflik.
Ketika perpecahan dapat terjadi dalam kelompok homogen, lantas bagaimana dengan kelompok majemuk? Ambil contoh di Jakarta, dengan penduduk lebih dari 9 juta jiwa, merupakan tempat berkumpulnya lebih dari 300 suku, namun konflik yang lebih sering terdengar adalah tawuran. Oleh karena itu, dalam ilmu sosial, hampir tak mungkin mewujudkan analisis perdamaian yang komprehensif, kecuali ambivalensi antara konsep dan fenomena yang ada. Mungkin benar adanya, bahwa analisis perdamaian akan selalu bersifat kontekstual.
Perwujudan perdamaian dalam konteks Indonesia juga mengalami banyak jenis penyelesaian. Gerakan-gerakan separatis seperti Gerakan Aceh Merdeka, Operasi Papua Merdeka, dan Republik Maluku Selatan, menempuh penyelesaian dengan mediasi hingga penyerangan. Tragedi Poso tahun 1998 harus mengalami proses rekonsiliasi yang lama terlebih dahulu. Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak masyarakat dan budaya, memiliki kesulitan tersendiri dalam mencegahnya munculnya konflik-konflik serupa kembali terjadi.
Antara hak dan kewajiban
Hak atau kewajiban. Right or obligation, merupakan dua konsep yang dikenal dalam model kemasyarakatan. Merriam-Webster Dictionary (2015) mencatat right sebagai sesuatu yang bisa didapatkan atau dilakukan orang secara legal di mata hukum, sementara obligation adalah yang harus dilakukan. Ada apa dengan kedua konsep ini dan hubungannya dengan perdamaian dan masyarakat pluralistik?
Indonesia, setelah proklamasi kemerdekaannya di tahun 1945, memiliki dasar-dasar bernegara yang kemudian disepakati dan dipatuhi oleh seluruh golongan suku. Pada penetapan dasar-dasar bernegara, ada ketetapan-ketetapan yang disepakati bersama untuk menghindari kesalahpahaman dan perikaian antarpihak. Dengan kata lain, seluruh bagian dari Indonesia telah tunduk pada satu hukum yang baru, yang memberikan hak dan kewajiban pada masyarakatnya.
Hak dan kewajiban secara umum merupakan persoalan yang pelik. Ia berada dalam satu budaya tertentu, dimana manusia menurut konsepsi budaya tersebut dapat memperoleh, dan harus memberikan sesuatu. Konsepsi ini jelas berbeda di antara satu kelompok dan kelompok lainnya. Lantas, dalam masyarakat yang bercampur persepsi, apakah yang “memerintahkan” adanya hak dan kewajiban atas mereka?
Naungan hak dan kewajiban, selama ini disepakati dan diawasi oleh pemerintah dan masyarakat, sementara itu, manusia juga kerap mendapatkan perbedaan perlakuan di satu tempat dan tempat yang lain, bagaimana cara agar manusia tetap hidup dalam damai? Dalam rangka usainya Perang Dunia II, UN (United Nations/PBB) menciptakan hak asasi manusia atau human rights, yang merupakan konsep kebenaran yang dirundingkan para pendirinya, yang masih belum memperhitungkan negara-negara yang masih berstatus sebagai jajahan atau koloni (Zarkasyi, 2011). Oleh karena itu, meskipun UN telah mengeluarkan deklarasi HAM, masih banyak diperdebatkan, dan akhirnya diadaptasi oleh masing-masing negara.
Konsep awal hak untuk manusia adalah hak untuk hidup dan berkembang. Namun, untuk hidup dan berkembang, ia memerlukan label dan keikutsertaan pada nilai tertentu, dan perlu diberikan atribut tertentu agar ia berkembang dalam suatu sistem nilai. Perkembangan inilah yang “memberikan” kewajiban pada individu. Pertanyaannya, dalam konteks masyarakat multikultural yang penuh dengan perbedaan persepsi, mungkinkah hak dan kewajiban ini diwujudkan?
Hak dan kewajiban sangat berkaitan terhadap upaya manusia dalam menghindari konflik antar sesamanya. Dalam sebuah struktur, manusia diperbolehkan berbuat sesuatu, dan tidak diperbolehkan melakukan sesuatu, untuk menciptakan keteraturan. Keteraturan ini merupakan konsekuensi logis dari keinginan manusia untuk mendapatkan hidup yang damai. Sebagai contoh mudah, dalam pelajaran Kewarganegaraan, pemerintah telah menerangkan dengan baik perkara kepentingan melakukan kewajiban, untuk mendapatkan hak.
Inilah ajaran konsekuensi. Untuk mencari perdamaian, masyarakat harus merelakan keinginan pribadi untuk ditukar dengan kepentingan umum, sementara kepentingan umum harus ditelaah dengan baik, hingga tak mengganggu kepentingan individu. Dalam memahami konsep hak dan kewajiban, dapat terlihat ada bumbu sosialis. Penekanan hak umum. Namun, hal ini berbeda dengan konsep hak dan kewajiban yang ditanamkan dalam individu.
Konsep hak dan kewajiban individu perlu dilihat sebagai upaya penghindaran konflik, menahan perilaku yang tak sesuai dengan sistem nilai yang disepakati untuk menghasilkan perdamaian, atau secara khusus, menghasilkan kondisi yang diinginkan masyarakat. Permasalahan diskrepansi antara hak dan masyarakat akan selalu berulang, oleh karena itu, setiap individu perlu menyadari posisinya sebagai seorang yang bisa mendapatkan hak tanpa rasa bersalah, ketika sudah memberikan kewajibannya.
Perilaku menahan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan, dapat dikaji dalam perspektif behavioristik. Individu akan mendapatkan hadiah berupa kedamaian secara sosial, ketika ia menahan perilaku yang berlawanan dengan norma. Perlawanan norma ini perlu ditelaah mendalam di konteks Indonesia.
Pada perkembangan sistem hukum di Indonesia, telah terdapat afirmasi sistem nilai antara masing-masing suku, pada satu sistem pemerintahan yang diakui seluruh masyarakat secara legal. Adanya perlawanan norma, merupakan hal yang biasa terjadi, oleh karenanya tak dapat dilihat sebagai pemikiran yang subversif. Hak dan kewajiban penduduk Indonesia sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan kelompok-kelompok lain yang berbeda pendapat atas pemahaman, memiliki subordinate goal yang sama, ujar Sherif, menuju kehidupan bermasyarakat yang damai. Tantangan perdamaian, terletak pada konsep subordinate goal yang tak sesuai dengan norma sosial yang berlaku, juga saat ada oknum dalam masyarakat yang melakukan penghasutan terhadap penolakan subordinate goal.
Penataan masyarakat, terlebih lagi kepada individu, untuk menyadari kondisi goal bukanlah hal yang mudah. Masyarakat dan individu saling memengaruhi untuk memiliki pemikiran terhadap subordinate goal. Oleh karena itu, dalam masyarakat bersifat plural, kebutuhan individu yang utama ialah menyadari diskrepansi konsep hak dan kewajibannya dari perspektif subordinate goal dan nilai pribadi. Penilaian pribadi yang sesuai dengan subordinate goal, akan dikembangkan sebagai virtue masing-masing dalam memandang kebersamaan.
Memanusiakan manusia. Istilah tersebut pernah saya temui di sebuah buku, mengartikan bahwa manusia perlu menyadari kembali eksistensinya sebagai sebuah makhluk yang berpikir. Pemikiran inilah yang sekiranya dapat digalakkan mendampingi pengembangan virtue individual terhadap nilai masyarakat umum. Eksistensi manusia dalam sebuah sistem itu tak terelakkan, melawan norma berpotensi menghancurkan diri dan negara, namun melenyapkan diri dalam kehambaan sistem menjadikan manusia terpuruk. Saat itulah virtue dapat hadir dan meregulasi diri. Bahwa ada perbedaan yang dapat diperjuangkan dan ada persamaan yang perlu digalakkan. Pemahaman antar kedua hal inilah yang akan merubah konsep perdamaian menjadi sesuatu yang lebih otoritatif, namun lebih afirmatif.

Daftar pustaka
Anderson, R. (2004). A definition of peace. Peace and Conflict: Journal of Peace Psychology, 10(2), 101-116. doi:http://dx.doi.org/10.1207/s15327949pac1002_2
Ariyanto, A.A. (2012). Hubungan antarkelompok. Dalam S.W. Sarwono & E.A. Meinarno (Ed.). Psikologi sosial (h. 245-262). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika
Feist, J., Feist, G. J., Robets, T. A. (2013). Theories of personality. Singapore: McGraw Hill Companies, Inc.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2015). Plural. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diunduh dari http://kbbi.web.id/plural
Merriam-Webster. (2015). Obligation Merriam-Webster Online Dictionary. Diunduh dari http://www.merriam-webster.com/dictionary/obligation
Merriam-Webster. (2015). Right (2). Merriam-Webster Online Dictionary. Diunduh dari http://www.merriam-webster.com/dictionary/right
Miller, P. H. (2011). Theories of developmental psychology (5th ed.). New York: Worth
Zarkasyi, H.F. (2011). Islam, HAM, dan kebebasan beragama. Jakarta: INSISTS

Ditulis oleh: 
Dito Aryo Prabowo 
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Pemenang Pertama PSYCHOESSAY 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, kami akan segera memberi tanggapan pada komentar anda.