Salah satu hak asasi manusia yang
didapat sebagai warga negara Indonesia adalah memperoleh pendidikan, sebab pendidikan merupakan hak dasar bagi seseorang untuk mengembangkan diri. Melalui pendidikan pula kita akan mendapat banyak manfaat seperti memiliki berbagai ilmu pengetahuan yang kelak dapat berfungsi untuk meningkatkan kualitas hidup sekaligus mewujudkan kesejahteraan bangsa. Dalam UUD 1945 yang dijadikan pedoman
sumber tertib hukum oleh bangsa Indonesia, pada pasal 31 ayat 3 menyatakan, “Pemerintah mengusahakan
dan mennyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dengan undang-undang.”
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 20
taun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara
yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Dan sejak Juni 2015 telah diberlangsungkan wajib belajar 12 tahun mulai tingkat SD, SMP hingga SMA, kita mengenalnya dengan
“Sekolah Gratis”.
Dana BOS diberikan oleh pemerintah pusat kepada setiap provinsi di Indonesia untuk masing-masing
sekolah. Anggaran ini dapat diketahui secara transparan, dan dapat dikatakan lebih dari cukup untuk manifestasi keperluan sekolah mulai dari pembangunan
sekolah, pengembangan fasilitas, hingga buku-buku untuk para peserta didik dipinjamkan
melalui dana BOS. Namun pada kenyataannya, masih ada pungutan dana dari pihak sekolah dengan
berbagai macam alasan yang dikeluhkan oleh para wali murid. Dan sayangnya, komersialisasi
pendidikan ini oleh beberapa pihak sekolah telah dianggap wajar semenjak dulu,
dengan berbagai macam alasan seperti perbaikan infrastruktur sekolah, pembelian buku
wajib, SPP yang terlalu mahal melampaui tingkat perekonomian masyarakat sendiri,
dan masih banyak lagi.
Bentuk
komersialisasi pada tingkat pendidikan, tidak
hanya pada bangku sekolah tetapi juga di bangku kuliah. Kita tahu bahwa kini
perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan kian cepat berubah dan berkembang,
era globalisasi semakin terasa nyata. Hal ini tentu saja membawa
dampak pada persaingan dalam dunia pekerjaan yang semakin ketat. Bisa kita
lihat dengan perjanjian kerjasama Indonesia dengan antarnegara ASEAN dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA). Tahun ini resmi dibuka pasar bebas ASEAN yang membuat daya saing dan
kompetisi makin terasa. Mau tidak mau dan siap tidak siap, Indonesia harus
siap menghadapi. Hal ini tentu berpengaruh besar bagi Perguruan Tinggi di
Indonesia. Kita bisa lihat bagaimana usaha Perguruan Tinggi membekali
mahasiswanya dalam menghadapi pasar MEA. Kita bisa lihat banyaknya
seminar-seminar yang diadakan oleh dan untuk mahasiswa. Ya, Perguruan Tinggi
berlomba-lomba ingin mengembangkan mahasiswa-mahasiswanya menjadi lulusan terbaik dan mampu
bersaing dengan masyarakat Indonesia serta luar negeri. Hal ini juga menjadi
beban bagi pemerintah agar Indonesia tidak tergerus arus persaingan sehingga menyebabkan banyaknya
pengangguran.
Dalam mengatasi persoalan ini, pemerintah
menciptakan wewenang otonom kepada Perguruan Tinggi dalam mengelola lembaganya
sendiri sebagai penyelenggara Tridharma baik akademik maupun nonakademik yang
tercantum dalam Undang-undang no 12 tahun 2012 yakni mengubah beberapa PTN-BHMN
jadi PTN-BH. Sehingga meringankan beban negara dalam mengatur Pendidikan. Perbedaan
PTN-BH dengan PTN-BHMN adalah PTN-BH diperbolehkan untuk menarik biaya kepada para
mahasiswanya, yang biasa kita kenal dengan Uang Kuliah Tinggal (UKT). Sehingga pemasukan
PTN-BH telah dicanangkan dalam Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN) dan selain Anggaran Pendapatannya Belanja Negara.
Hal ini secara nyata tentu saja memberikan manfaat
yang cukup besar karena sejalan dengan ketentuan otonomi PTN-BH yang
mempunyai hak untuk mengelola perguruan Tinggi sesuai karakteristik bidang, lingkungan
dan wilayahnya. Apabila terdapat persamaan persepsi dan moral yang tertanam di Perguruan
Tinggi dan tanpa tercampuri oleh kepentingan pribadi Perguruan Tinggi, maka pemerataan
pendidikan juga dapat terlaksana. Kebijakan ini akan berjalan sesuai dengan harapan
pemerintah, sehingga perguruan tinggi dan masyarakat juga akan merasakan dampak
bahwa tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kebijakan yang harus dipraktekkan dengan
pengawasan dan pemantauan serta evaluasi yang transparan. Akuntabilitas dan transparansi
adalah poin penting yang perlu dilakukan agar kepercayaan antar pihak terjaga.
Namun pada kenyataannya Uang Kuliah
Tinggal (UKT) dirasakan memberatkan keluarga
mahasiswa dan banyak pihak yang ingin menghapus sistem UKT. Sebenarnya sistem ini
sudah bagus, membantu pemerintah dalam mengatasi pemerataan Pendidikan. UKT dipergunakan
sebagai subsidi silang, dimana mahasiswa yang kurang mampu dapat sekolah dengan
dibantu biaya dari pemerintah dan mahasiswa yang mampu. Namun, pada pelaksanaannya masih banyak tugas yang perlu dibenahi karena yang telah dijalankan selama ini tidak
sesuai dengan tujuan awal. Sistem UKT yang diberikan oleh kementrian dibedakan menjadi
beberapa tingkatan. Perolehan tingkat mana yang dikenakan oleh mahasiswa akan diukur
dari kemampuan ekonomi mahasiswa dan orang tua mahasiswa atau orang yang membayari
biaya mahasiswa. Yakni dari pendapatan yang bersangkutan seharusnya yaitu sesuai
dengan UU No. 12 Tahun 2012.
Tercantum dalam PP No. 58 Tahun 2013
tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan PTN-BH, yaitu Standar Tarif Biaya Operasional
Pendidikan yang ditentukan oleh Menteri, dengan mempertimbangkan :
1. Capaian Standar Nasional Perguruan
Tinggi
2. Jenis Program Studi
3. Indeks kemahalan wilayah
Dan penetapan tarif biaya Pendidikan
(UKT) yang ditujukan kepada mahasiswa mempertimbangkan kemampuan ekonomi:
1. Mahasiswa;
2. Orang tua mahasiswa; atau
3. Pihak lain yang membiayai mahasiswa
Persoalan secara nyata yang dialami
banyak mahasiswa adalah mendapatkan tingkatan UKT yang tidak sesuai dengan kemampuan
ekonominya karena memberatkan. Hal inilah yang perlu diadakannya pengawasan dan
evaluasi. Seharusnya PTN tidak melihat dari pendapatan gaji dan pengeluaran daya
tetapi juga mempertimbangkan dari segi tanggungan-tanggungan orang tua atau individu
yang membayari biaya kuliah mahasiswa tersebut.
Selain itu, pemberian beasiswa kurang mampu kepada mahasiswa seharusnya diseleksi lebih ketat dan bertanggungjawab dikarenakan masih banyak penyaluran beasiswa kurang mampu yang belum tepat sasaran. Beasiswa kurang mampu benar-benar ditujukan kepada mahasiswa yang kurang mampu. Serta diberantasnya oknum-oknum yang memanfaatkan wewenangnya guna menguntungkan kepentingan pribadinya. Perlu adanya kesadaran pemikiran yang berorientasi pengabdian masyarakat dalam tiap benak pihak yang bersangkutan, karena perlu diingat pula mengenai Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran; penelitian dan pengembangan; dan pengabdian masyarakat.
What can we do as a college students? Sebagai mahasiswa yang dapat kita lakukan salah satunya ialah menjadi kontrol eksternal. Menjalankan fungsi pengawasan dan memberi solusi kritis atas transparansi dan pertanggungjawaban pihak PT. Seperti halnya mempertanyakan kembali, apakah jumlah kisaran UKT yang diterima sudah adil dan tidak memberatkan? Sebab perlu di ingat selain dana APBN, APBD, UKT, ada pula dana kemitraan dan usaha tridharma. Dan apakah setiap pelaksanaan perguruan tinggi sudah berasaskan tridharma perguruan tinggi? Dalam arti tidak adanya pihak yang menyalahgunaan wewenang otonom perguruan tinggi.
Selain itu, pemberian beasiswa kurang mampu kepada mahasiswa seharusnya diseleksi lebih ketat dan bertanggungjawab dikarenakan masih banyak penyaluran beasiswa kurang mampu yang belum tepat sasaran. Beasiswa kurang mampu benar-benar ditujukan kepada mahasiswa yang kurang mampu. Serta diberantasnya oknum-oknum yang memanfaatkan wewenangnya guna menguntungkan kepentingan pribadinya. Perlu adanya kesadaran pemikiran yang berorientasi pengabdian masyarakat dalam tiap benak pihak yang bersangkutan, karena perlu diingat pula mengenai Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran; penelitian dan pengembangan; dan pengabdian masyarakat.
What can we do as a college students? Sebagai mahasiswa yang dapat kita lakukan salah satunya ialah menjadi kontrol eksternal. Menjalankan fungsi pengawasan dan memberi solusi kritis atas transparansi dan pertanggungjawaban pihak PT. Seperti halnya mempertanyakan kembali, apakah jumlah kisaran UKT yang diterima sudah adil dan tidak memberatkan? Sebab perlu di ingat selain dana APBN, APBD, UKT, ada pula dana kemitraan dan usaha tridharma. Dan apakah setiap pelaksanaan perguruan tinggi sudah berasaskan tridharma perguruan tinggi? Dalam arti tidak adanya pihak yang menyalahgunaan wewenang otonom perguruan tinggi.
Mungkin ini adalah segelintir kecil
permasalahan mengenai komersialisasi pendidikan. Namun kita jangan begitu saja pesimis dengan sistem ini. Pada intinya, perlu pengawasan dan evaluasi yang transparan dan akuntabel secara berkelanjutan dan dikerjakan dengan sungguh oleh pihak-pihak terkait. Hal ini
telah terjamin dalam Undang-Undang Nomer 12 tahun 2012 pasal 63 bahwa otonomi
pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip akuntabilitas; transparansi;
nirlaba; penjaminan mutu; dan efektivitas dan efisiensi. Dengan begitu, diharapkan
Indonesia mampu mewujudkan perguruan Tinggi yang benar-benar mengembangkan mahasiswa-mahasiswa
yang adaptif, berdaya saing kuat dan bermanfaat bagi Negara Indonesia.
Ditulis oleh Elkanita Dwi K. dan Novia Putri Nur I.S
Ditulis oleh Elkanita Dwi K. dan Novia Putri Nur I.S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih, kami akan segera memberi tanggapan pada komentar anda.