Viewers

"The mind is like an iceberg, it floats with one-seventh of its bulk above water." ~ Sigmund Freud

Selasa, 22 Maret 2016

Menyikapi Isu Penyimpangan Orientasi Seksual di Indonesia


Memperbincangkan LGBT tak dapat dilepaskan dari  pembahasan tentang seksualitas. Seksualitas yang dimaksud disini memiliki makna yang luas yaitu  sebuah aspek kehidupan menyeluruh meliputi konsep tentang seks (jenis kelamin), gender, orientasi seksual dan identitas gender, identitas seksual, erotism, kesenangan, keintiman dan reproduksi. Seksualitas dialami dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi, hasrat, kepercayaan/nilai-nilai, tingkah laku, kebiasaan, peran dan hubungan. Namun demikian, tidak semua aspek dalam seksualitas selalu dialami atau diekspresikan. Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, sejarah, agama, dan spiritual (Definisi WHO dalam Ardhanary Institute dan HIVOS).  Pada dasarnya, terdapat dua pandangan tentang seksualitas yang saling berseberangan, yaitu antara kelompok yang mendasarkan pemikiran tentang seksualitas pada aliran esensialism, dan kelompok yang lain pada social constructionism.
Kelompok esensialism meyakini  bahwa jenis kelamin, orientasi seksual, dan identitas seksual sebagai hal yang bersifat bawaan dan natural sehingga tidak dapat mengalami perubahan. Kelompok ini berpandangan bahwa jenis kelamin hanya terdiri dari 2 jenis yaitu laki-laki dan perempuan, orientasi seksual hanya heteroseksual, dan identitas gender harus selaras dengan jenis kelamin (perempuan feminin dan laki-laki maskulin) menyebabkan kelompok yang berada di luar hal tersebut dianggap sebagai abnormal.
Sebaliknya, dalam pandangan social constructionism, bukan hanya gender, namun juga seks/ jenis kelamin, orientasi seksual maupun identitas gender adalah hasil konstruksi sosial. Sebagai sebuah konstruksi sosial, seksualitas bersifat fleksibel, dan merupakan suatu pilihan, sehingga jenis kelamin tidak hanya terdiri dari laki-laki dan perempuan namun juga intersex dan transgender/ transeksual, orientasi seksual tidak hanya heteroseksual namun juga homoseksual dan  biseksual.
Homoseksualitas merupakan ketertarikan antar individu yang memilki jenis kelamin yang sama. Sebagai orientasi seksual, homoseksualitas mengacu kepada pola berkelanjutan berupa kasih sayang, perasaan cinta dan pengalaman seksual kepada sesama jenis. Homoseksualitas juga mengacu kepada pandangan individu tentang identitas pribadi dan sosial pada ketertarikan seksualnya, perilaku yang ditunjukkannya sehari-hari dan dengan siapa dia bergaul dalam suatu komunitas yang mendukungnya (sexual orientation homosexuality and bisexuality, 2010).
Homoseksualitas sendiri telah dihapuskan dari buku panduan DSM (Diagnostic and Statistic Manual) sejak 1973 sebagai gangguan jiwa. Sementara kalau kita lihat dari segi norma, agama dan etika hal ini justru ditentang. Masih banyak masyarakat awam yang memberikan stigma negatif kepada kaum homoseksualitas.
LGBTI sendiri  adalah singkatan dari Lesbian, Gay, Bisex, and Transgender dan Interseksual. Istilah tersebut digunakan pada tahun 1990 untuk menggantikan frasa "komunitas gay". Karena istilah tersebut dianggap sudah mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan tadi didalamnya.
Nah, untuk membahas hal tersebut kita bisa menggunakan 4 paradigma dalam memandang fenomena sosial, yaitu


  •  Empiristik Positivistik
    Paradigma ini memandang bahwa dunia sosial dapat dipelajari dengan cara yang objektif dan bebas nilai. Paradigma inilah yang biasanya mengelompokkan L sebagai Lesbi, H sebagai Homo, G sebagai Gay, T sebagai Transgender dan ada juga golongan normal. Tiap kelompok memiliki ciri masing-masing.
  • Interpretatif Fenomenologis (Konstruktivisme). Kebenaran menurut paradigma ini ditentukan dari konstruksi masa lalu/ pengalaman. Misalkan saat melihat kecoa, biasanya respon tiap individu akan berbeda bergantung akan persepsi yang telah terbentuk terkait dengan kecoa.
  • Teori Kritis, Paradigma ini dikenal juga dengan idealis, dimana menolak kebebasan nilai yang ditawarkan empiristik positivistik. Teori kritis menganggap pengetahuan bukanlah sesuatu yang netral baik secara moral, ideologi maupun politik, dimana tiap pengetahuan mencerminkan kepentingan pengamatnya. Paradigma ini biasanya membela kaum marginal. Termasuk akan membela LGBTI bagaimanapun caranya dengan mengutamakan pengakuan akan LGBTI.
  • Discourse Analysis (Wacana). Menurut paradigma ini kebenaran disesuaikan dengan konteksnya. Misalkan perkataan jancok belum tentu ‘misuh’, bila kata-kata cok seringkali diucapkan dalam kegiatan sehari-hari. Contohnya, Hai cok, apa kabar cok? 
    Nah seperti halnya dengan pelegalan LGBTI di Amerika namun di Brunei Darussalam pelaku LGBTI dapat dihukum mati.
LGBTI dinilai tidak sesuai dengan agama dan etika sehingga memunculkan labelling dengan mengidentifikasikan sebagai individu yang menyimpang dan diikuti perubahan perlakuan terhadap kaum LGBT. Penelitian menunjukkan bahwa pelaku LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender) yang mengalami kekerasan verbal dan non-verbal tadi cenderung mempunyai masalah dalam belajar atau menempuh studinya, juga terlibat dalam penyalahgunaan zat, mengalami penurunan harga diri dan bahkan mempunyai pikiran atau tindakan untuk melakukan bunuh diri (Lilith Roggemans, dkk, 2015). 
Konteks budaya sosial saat ini membuat perilaku homoseksual dikriminalisasikan dan disempitkan maknanya. Homoseksual sering kali hanya dianggap sebagai seks semata dengan melakukan sodomi dan dianggap sebagai perbuatan biadab. Padahal pelaku homoseksual tidak melulu semata hanya kesenangan seks, mereka juga berbagi kasih sayang, saling peduli dan berusaha menciptakan sebuah keluarga. Penolakan dari masyarakat membuat munculnya bicultural identity yaitu semacam peran ganda di masyarakat, di satu sisi mereka menjadi orang biasa, yang beraktivitas seperti masyarakat heteroseksual lainnya, bekerja, bersosialisasi, menikah dan mempunyai anak. Di sisi lain kepribadian asli mereka muncul sebagai gay, yang punya kehidupan berbeda dari sisi sebelumnya. Hal ini mereka lakukan untuk melindungi identitas mereka dari masyarakat lainnya agar terhindar dari perilaku diskriminasi serta kekerasan verbal maupun non-verbal. Selain itu juga untuk menghindarkan pengucilan dari keluarga, teman-teman dekat mereka dan diberhentikan dari pekerjaan mereka. Bisa dibilang semacam covert atas perilaku LGBTI mereka.
Sementara disisi lain, Sigmund Freud sendiri berpendapat bahwa homoseksual adalah bentuk berhentinya perkembangan mental seseorang dari dimensi tahap perkembangan mental. Freud juga yakin bahwa ada satu fase dalam tahap perkembangan manusia yang membuatnya menyukai sesama jenis. Orang dengan homoseksual melewati masa itu lebih lambat dari orang normal lainnya. Sehingga orang normal adalah orang yang berhasil menjadi seorang dengan orientasi seksual heteroseksual.
Alasan lainnya bahwa  adanya pandangan Heterosexism, yaitu usaha menciptakan suatu iklim dimana dunia kodratnya hanya berisi orang-orang dengan orientasi seksual heteroseksual dan hal ini didukung dengan kekuasaan dan norma yang ada. Heaven (dalam Wahyu, 2007) mendukung pernyataan tersebut dengan kepercayaan bahwa mereka yang LGBT memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang berbeda sehingga patut untuk tidak diakui dimasyarakat. Selain itu juga ditemukan fakta bahwa pelaku LGBTI biasanya juga memiliki angka yang tinggi terhadap pengidap AIDS dan penyalahgunaan zat. Di Indonesia sendiri dukungan terhadap larangan LGBTI disebabkan karena LGBTI dianggap tidak sesuai dengan doktrin agama dan norma sosial serta etika dimasyarakat.
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa LGBTI mau tidak mau memang ada disekitar kita. Hindari perilaku diskriminatif terhadap mereka. Jika mau membenci, bencilah perilakunya bukan orangnya, tetap support mereka dan arahkan mereka ke perilaku positif.


Ditulis oleh Reyhan Respati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, kami akan segera memberi tanggapan pada komentar anda.