Viewers

"The mind is like an iceberg, it floats with one-seventh of its bulk above water." ~ Sigmund Freud

Jumat, 13 Mei 2016

Demoralisasi dan Paradigma Industrialisasi Kurikulum Pendidikan Tinggi

source [www.sanfranciscosentinel.com]

Laju peningkatan industri nasional tak dapat dipungkiri menjadi salah satu fokus pemerintah Indonesia untuk membangkitkan pergerakan ekonomi masyarakat. Fokus peningkatan kapabilitas industri berkaitan dengan keberadaan MEA atau Masyarakat Ekonomi Asean sebagai agenda integrasi ekonomi negara-negara ASEAN yang bertujuan untuk meminimalisasi hambatan-hambatan di dalam melakukan kegiatan ekonomi lintas kawasan, misalnya dalam perdagangan barang, jasa, dan investasi. Untuk mendorong kemajuan dalam bidang industri, kebutuhan tenaga ahli tentu akan menjadi sangat populer. Terlebih lagi, kebutuhan sumber daya manusia yang mengacu pada inovasi teknologi merupakan moda utama pada pergerakan industri nasional.

Inovasi teknologi adalah salah satu motivasi utama diselenggarakannya berbagai riset ilmiah. Patron riset yang bertujuan dalam menghasilkan suatu produk teknologi memerlukan batasan-batasan pengetahuan tertentu. Pendidikan sebagai kunci tercapainya pembentukan sumber daya manusia berkualitas merangkum kebutuhan-kebutuhan riset melalui kajian pengetahuan yang dikelola menjadi suatu kurikulum. Dasar-dasar kebutuhan industri inilah yang mungkin telah memicu pencetusan Kurikulum Perguruan Tinggi atau KPT berbasis metode industrialisasi. Seperti dalam Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yaitu kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor (pasal 1 ayat 1). Selanjutnya di dalam pasal 1 ayat 2 pada peraturan tersebut, capaian pembelajaran dinyatakan sebagai kemampuan yang diperoleh melalui internalisasi pengetahuan, sikap, keterampilan, kompetensi, dan akumulasi pengalaman kerja.

KPT atau Kurikulum Pendidikan Tinggi dikembangkan oleh setiap Perguruan Tinggi dengan berorientasi pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi  (SN Dikti). Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN DIKTI) yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 tahun 2014 adalah satuan standar yang meliputi Standar Nasional Pendidikan, ditambah dengan Standar Nasional Penelitian, dan Standar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat. SN DIKTI merupakan kriteria minimal tentang pembelajaran pada jenjang pendidikan tinggi di perguruan tinggi di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar Nasional Pendidikan terdiri atas; standar kompetensi lulusan, standar isi pembelajaran, standar proses pembelajaran, standar penilaian pembelajaran, standar dosen dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana pembelajaran, standar pengelolaan pembelajaran, dan standar pembiayaan pembelajaran. Berbagai standar memiliki rumusan pada KKNI dan dijabarkan melalui capaian pembelajaran yang mengacu pada kepentingan profesi. Ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia sangat mengutamakan pembentukan sumber daya bagi perindustrian nasional.

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dasar-dasar pendidikan yang seharusnya lebih bermuatan kepada penetapan nilai-nilai sosial kemasyarakatan, budaya, serta aspek legalitas penyelenggaraan pendidikan justru tergeser dengan muatan industrialisme dalam Kurikulum Perguruan Tinggi. Rangkaian pengaruh globalisasi serta tuntutan dalam perkembangan ekonomi seperti MEA atau AEC (Asean Economic Community), AFTA (Asean Free Trade Area), GATS (General Agreement Trade in Services) di bawah WTO (World Trade Organization) secara masif membawa jalur reformasi pendidikan ke arah komersialisasi. Terlebih lagi sebagai bagian dari GATS, Indonesia tentu mengarahkan tujuan pendidikannya pada kepentingan konsumerisme jasa. Padahal pendidikan bukan sesuatu yang layak untuk bergerak di bawah kepentingan pergerakan industri semata, melainkan pengembangan karakter dan kemanusiaan yang disesuaikan dengan ideologi bangsa.

Industrialisasi adalah bagian dari proses modernisasi dimana perubahan sosial dan perkembangan ekonomi erat hubungannya dengan inovasi teknologi. Kompetisi dalam pendidikan memang mengacu pada tingkat produktivitas sumber daya agar menciptakan berbagai inovasi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Tidak masalah memang jika dalam implementasinya sesuatu yang dianggap kompetitif memiliki tujuan sosial sesuai dengan amanat pembukaan Undang-Undang Dasar, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta menghapuskan penjajahan di atas dunia. Akan tetapi bagaimana jika metode industrialisasi yang diterapkan pada Kurikulum Pendidikan Tinggi justru menjadikan generasi bangsa terjajah dengan pemikiran individualistik atau kepentingan pribadi semata? Bagaimana jika pola komersialisasi yang ternyata menjadi dasar reformasi pendidikan di Indonesia menghambat masyarakat dalam memperoleh hak-hak mereka untuk mendapatkan pendidikan layak? Akankah demoralisasi pendidikan menggerus upaya-upaya perjuangan kemanusiaan agar bangsa Indonesia tetap terikat pada bentuk lain dalam penjajahan?

Bersambung...

Ditulis oleh Anindya Gupita Kumalasari

Source




Panduan Penyusunan CAPAIAN PEMBELAJARAN LULUSAN PROGRAM STUDI DIREKTORAT PEMBELAJARAN DAN KEMAHASISWAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, kami akan segera memberi tanggapan pada komentar anda.