Viewers

"The mind is like an iceberg, it floats with one-seventh of its bulk above water." ~ Sigmund Freud

Senin, 16 Mei 2016

Mengkaji Maraknya Fenomena Cyberbullying

Tahukah kalian Sonya Depari? Remaja asal Medan ini mendadak populer karena videonya menjadi viral di dunia maya karena ia mengaku sebagai anak Deputi BNN Irjen Pol Arman Depari. Pengakuan itu dilontarkan saat ia marah-marah kepada seorang polwan yang menghentikan konvoi seusai Ujian Nasional.
Namun hal itu dibantah oleh Irjen Pol Arman Depari. Beliau mengatakan bahwa ia tidak memiliki seorang putri namun tiga orang putra yang berada di Jakarta. Sontak hal ini menjadi perhatian publik terutama Netizen. Mereka langsung menyerbu akun Instragram dara cantik itu dan mengomentari foto – foto di akunnya. Sayangnya, komentar – komentar yang dilontarkan netizen padanya banyak berisi makian.
Pemberitaan bertubi – tubi serta caci maki yang ia terima di media sosial membuat Sonya trauma. Bahkan ayah Sonya jatuh sakit akibat pemberitaan tersebut. Hingga pada Kamis pagi (7/4/2016), Ayah Sonya dikabarkan meninggal dunia karena stroke.
Tak sedikit orang yang akhirnya berempati atas kejadian ini namun masih banyak pula orang yang mencaci Sonya seakan – akan apa yang terjadi pada Sonya saat itu ialah karma yang ia terima. Hal ini menjadi pro kontra di media sosial. Banyak pihak yang merasa prihatin dengan apa yang terjadi seolah – olah banyak netizen yang kehilangan rasa kemanusiaanya pada Sonya.
Sonya merupakan satu dari banyak korban yang mengalami Cyberbullying. Cyberbullying ialah sebuah perilaku mengintimidasi, mengejek, menghina, bahkan hacking terhadap seseorang di dunia maya. Fenomena ini banyak bermunculan seiring berkembangnya teknologi informasi dan dapat berujung pada tindakan bunuh diri korban.  Cyberbullying sangat mudah dilakukan karena pelaku tidak perlu berhadapan langsung dengan korban. Sayangnya saat ini belum ada data statistik yang konkret mengenai cyberbullying di Indonesia karena korban jarang melaporkan pada pihak berwajib.
Lalu kenapa cyberbullying ini bisa terjadi ? Siapa pelakunya?

Pengguna Internet di Indonesia meningkat drastis setiap tahunnya. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) saat ini ada 88.1 juta pengguna Internet di Indonesia menandakan bahwa sekitar 34.9% warga negara Indonesia sudah dapat mengakses Internet. Sebanyak 49% pengguna Internet di indonesia berkisar antara usia 18 hingga 25 tahun dan sebanyak 87.4% menggunakan Internet untuk mengakses media sosial. Mayoritas pengguna mengakses Internet di rumah.
Dari data diatas bisa disimpulkan bahwa mayoritas pengguna media sosial merupakan remaja hingga dewasa awal. Pada masa tersebut, peran teman sebaya merupakan aspek yang penting didalam kehidupan remaja. Hubungan remaja dengan teman sebayanya menjadi sebuah indikator bagaimana kompetensi sosialnya. Seseorang yang memiliki kompetensi sosial yang tinggi cenderung untuk menghindari perilaku yang tidak diterima secara sosial. Karena itulah mereka jarang melakukan tindakan – tindakan yang merugikan orang lain (Mertens, 2010). Sedangkan pelaku bullying diyakini memiliki kompetensi sosial yang rendah karena perilaku mereka (Crick & Dodge, 1994: Sutton, dkk, 1999 dalam Mertens, 2010). Namun masih ada korelasi antara cyberbullying dengan orang yang memiliki kompetensi sosial yang cukup. Ini menandakan bahwa masih ada faktor lain yang menyebabkan seseorang melakukan cyberbullying.  
Faktor – faktor yang dapat menjadi pertimbangan pelaku melakukan cyberbullying adalah motivasi, kepribadian, dan pergaulan sosial. Menurut faktor motivasi, ada lima tipe pelaku cyberbullying berdasarkan motivasinya yaitu; Malaikat Pembalas Dendam (The Vengeful Angel), Si Haus Kekuasaan dan Pembalasan Si Aneh (The Power Hungry and Revenge of The Nerds), Gadis Jahat (Mean Girls), serta Si Tidak Sengaja (The Inadvertent) (Aftab 2008, dalam Fegenbush & Olivier, 2009).
Menurut faktor kepribadian, pelaku bullying memiliki memiliki kepribadian yang suka menguasai dan mengendalikan pihak lain, mudah curiga, suka bermusuhan dan kurang memiliki kepedulian terhadap pihak lain. Selain itu, pelaku bullying cenderung sulit untuk mengekspresikan dan merasakan kehangatan, mudah mengalami gejolak emosi serta sulit untuk bersikap sesuai dengan aturan (Hertinjung, dkk, 2012).
Pergaulan sosial juga menjadi faktor cyberbullying. Hubungan seseorang dengan teman sebaya dan orang tua juga dapat menjadi penyebab kenapa remaja melakukan cyberbullying.  Karena remaja cenderung ingin diperhatikan dan mendapatkan pengakuan dari teman – temannya, ia akan melakukan berbagai cara. Salah satu cara yang dapat dia lakukan untuk mendapatkan pengakuan itu adalah dengan cara agresi dan sifat antagonistik lainnya. Orang tua juga sebagai salah satu faktor yang penting dalam pencegahan cyberbullying baik pada pelaku maupun korban.

Meninjau maraknya perilaku bullying dan khususnya cyberbullying yang dilakukan oleh para remaja dan memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan, alangkah baiknya bila kita sebagai mahasiswa dapat menularkan semangat yang positif agar adik-adik kita dapat menggunakan waktunya dengan bijak untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat, misalnya dengan aktif mengikuti kegiatan sosial, menyalurkan minat dan hobi secara positif, beribadah, atau membaca buku ke perpustakaan dan masih banyak lagi. Mari kita tumbuhkan daya kritis semenjak remaja dengan mengondisikan diri dan adik-adik kita dengan aktifitas positif, karena kalau bukan kita siapa lagi?


Ditulis oleh Ahmad Fauzan

Jumat, 13 Mei 2016

Demoralisasi dan Paradigma Industrialisasi Kurikulum Pendidikan Tinggi

source [www.sanfranciscosentinel.com]

Laju peningkatan industri nasional tak dapat dipungkiri menjadi salah satu fokus pemerintah Indonesia untuk membangkitkan pergerakan ekonomi masyarakat. Fokus peningkatan kapabilitas industri berkaitan dengan keberadaan MEA atau Masyarakat Ekonomi Asean sebagai agenda integrasi ekonomi negara-negara ASEAN yang bertujuan untuk meminimalisasi hambatan-hambatan di dalam melakukan kegiatan ekonomi lintas kawasan, misalnya dalam perdagangan barang, jasa, dan investasi. Untuk mendorong kemajuan dalam bidang industri, kebutuhan tenaga ahli tentu akan menjadi sangat populer. Terlebih lagi, kebutuhan sumber daya manusia yang mengacu pada inovasi teknologi merupakan moda utama pada pergerakan industri nasional.

Inovasi teknologi adalah salah satu motivasi utama diselenggarakannya berbagai riset ilmiah. Patron riset yang bertujuan dalam menghasilkan suatu produk teknologi memerlukan batasan-batasan pengetahuan tertentu. Pendidikan sebagai kunci tercapainya pembentukan sumber daya manusia berkualitas merangkum kebutuhan-kebutuhan riset melalui kajian pengetahuan yang dikelola menjadi suatu kurikulum. Dasar-dasar kebutuhan industri inilah yang mungkin telah memicu pencetusan Kurikulum Perguruan Tinggi atau KPT berbasis metode industrialisasi. Seperti dalam Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yaitu kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor (pasal 1 ayat 1). Selanjutnya di dalam pasal 1 ayat 2 pada peraturan tersebut, capaian pembelajaran dinyatakan sebagai kemampuan yang diperoleh melalui internalisasi pengetahuan, sikap, keterampilan, kompetensi, dan akumulasi pengalaman kerja.

KPT atau Kurikulum Pendidikan Tinggi dikembangkan oleh setiap Perguruan Tinggi dengan berorientasi pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi  (SN Dikti). Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN DIKTI) yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 tahun 2014 adalah satuan standar yang meliputi Standar Nasional Pendidikan, ditambah dengan Standar Nasional Penelitian, dan Standar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat. SN DIKTI merupakan kriteria minimal tentang pembelajaran pada jenjang pendidikan tinggi di perguruan tinggi di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar Nasional Pendidikan terdiri atas; standar kompetensi lulusan, standar isi pembelajaran, standar proses pembelajaran, standar penilaian pembelajaran, standar dosen dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana pembelajaran, standar pengelolaan pembelajaran, dan standar pembiayaan pembelajaran. Berbagai standar memiliki rumusan pada KKNI dan dijabarkan melalui capaian pembelajaran yang mengacu pada kepentingan profesi. Ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia sangat mengutamakan pembentukan sumber daya bagi perindustrian nasional.

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dasar-dasar pendidikan yang seharusnya lebih bermuatan kepada penetapan nilai-nilai sosial kemasyarakatan, budaya, serta aspek legalitas penyelenggaraan pendidikan justru tergeser dengan muatan industrialisme dalam Kurikulum Perguruan Tinggi. Rangkaian pengaruh globalisasi serta tuntutan dalam perkembangan ekonomi seperti MEA atau AEC (Asean Economic Community), AFTA (Asean Free Trade Area), GATS (General Agreement Trade in Services) di bawah WTO (World Trade Organization) secara masif membawa jalur reformasi pendidikan ke arah komersialisasi. Terlebih lagi sebagai bagian dari GATS, Indonesia tentu mengarahkan tujuan pendidikannya pada kepentingan konsumerisme jasa. Padahal pendidikan bukan sesuatu yang layak untuk bergerak di bawah kepentingan pergerakan industri semata, melainkan pengembangan karakter dan kemanusiaan yang disesuaikan dengan ideologi bangsa.

Industrialisasi adalah bagian dari proses modernisasi dimana perubahan sosial dan perkembangan ekonomi erat hubungannya dengan inovasi teknologi. Kompetisi dalam pendidikan memang mengacu pada tingkat produktivitas sumber daya agar menciptakan berbagai inovasi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Tidak masalah memang jika dalam implementasinya sesuatu yang dianggap kompetitif memiliki tujuan sosial sesuai dengan amanat pembukaan Undang-Undang Dasar, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta menghapuskan penjajahan di atas dunia. Akan tetapi bagaimana jika metode industrialisasi yang diterapkan pada Kurikulum Pendidikan Tinggi justru menjadikan generasi bangsa terjajah dengan pemikiran individualistik atau kepentingan pribadi semata? Bagaimana jika pola komersialisasi yang ternyata menjadi dasar reformasi pendidikan di Indonesia menghambat masyarakat dalam memperoleh hak-hak mereka untuk mendapatkan pendidikan layak? Akankah demoralisasi pendidikan menggerus upaya-upaya perjuangan kemanusiaan agar bangsa Indonesia tetap terikat pada bentuk lain dalam penjajahan?

Bersambung...

Ditulis oleh Anindya Gupita Kumalasari

Source




Panduan Penyusunan CAPAIAN PEMBELAJARAN LULUSAN PROGRAM STUDI DIREKTORAT PEMBELAJARAN DAN KEMAHASISWAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2014

Rabu, 11 Mei 2016

Peran Orang Tua dalam Mendukung Tercapainya Proses Pendidikan yang Optimal pada Anak



Menurut Ki Hajar Dewantara, Pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat.

Sedangkan pengajaran merupakan salah satu bagian dari pendidikan. Pengajaran adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin. Dengan demikian, konsep pendidikan yang begitu luas tidak hanya melibatkan peran sekolah melainkan juga peran keluarga sebagai sumber belajar anak sejak usia dini dan peran lingkungan sosial masyarakat.

Lalu, bagaimanakah peran keluarga khususnya orang tua dalam mendukung tercapainya proses pendidikan yang optimal pada anak hingga Ia siap menjadi manusia dewasa yang seutuhnya?

1. Menjalin interaksi dan komunikasi yang terbuka dengan anak dimulai sejak dini.
Seringkali orang tua was-was ketika anak memasuki fase remaja sehingga menerapkan kontrol yang lebih ketat, terlalu membatasi  dan melarang beberapa aktifitas anak. Padahal semakin dibatasi dan dilarang justru berpotensi meningkatkan rasa ingin tahu dan anak dapat memenuhi rasa ingin tahunya diluar rumah. Oleh karena itu menjalin interaksi yang dekat dan terbuka dengan anak sebaiknya dimulai sejak usia dini sehingga ketika memasuki fase remaja, anak dapat tetap dipantau dan berada dalam perlindungan orang tua.

2. Memahami bahwa pada tiap fase tumbuh kembang anak, mulai dari masa kanak-kanak awal, kanak-kanak, kanak-kanak akhir, remaja hingga dewasa awal akan membutuhkan penyesuaian diri orang tua.
Seringkali kita melihat fakta dilapangan, orang tua yang menjalin interaksi dan komunikasi dengan anak tak ubahnya dengan orang dewasa. Padahal kondisi psikologis anak memang belum sepenuhnya matang. Sehingga ketika anak melakukan kesalahan, orang tua cenderung memberikan reaksi berupa agresi verbal hingga fisik. Oleh karena itu, orang tua sebetulnya memiliki tanggung jawab untuk memelihara, melindungi dan memandu kehidupan anak secara berkelanjutan, sehingga dibutuhkan penyesuaian diri dari orang tua agar dapat memfasilitasi anak untuk mencapai perubahan yang positif disepanjang hidupnya.

3. Bagi orang tua yang bekerja pastikan anak memiliki figur pengganti yang tepat
Pada konteks kekinian dimana banyak kedua orang tua bekerja atau menjadi dual- earner families, sebaiknya orang tua memastikan anak memiliki figur pengganti orang tua yang dapat membantunya untuk tetap dapat melangsungkan peran dan tanggungjawabnya pada anak, misalkan dengan meminta bantuan pada keluarga terdekat untuk ikut serta mengasuh anak, seperti halnya nenek atau saudara lainnya yang dapat dipercaya. Dalam hal ini sebaiknya orang tua menjaga komitmennya dalam melaksanakan pengasuhan yang tepat untuk anak.

4. Menerapkan pola pengasuhan yang demokratis
Ditengah perkembangan zaman dan kecanggihan teknologi, sebaiknya cara orang tua memberi pengasuhan pada anak perlu mendapat sorotan. Menurut Malcol Hardy dan Steve Heyes (1988) ada empat macam pola pengasuhan orang tua yaitu : demokratis, otoriter, permisif, dan laizzes faire (penelantar). Keempat pola pengasuhan ini memiliki ciri khasnya sendiri dan tentunya memiliki dampak baik positif maupun negatif terhadap anak. Namun dari keempat pola pengasuhan tersebut, pola asuh demokratis dirasa cukup tepat unuk membantu perkembangan dan pembelajaran anak di era kekinian. Orang tua dengan pola asuh demokratis cenderung tidak tertutup dengan adanya perubahan zaman namun tetap bisa melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sehingga anak merasa tidak dibatasi namun masih mendapat pengarahan dari orang tua.


Kajian Pustaka
Hardy Malcolm & Heyes, Steve. 1988. Pengantar Psikologi (Edisi Kedua). Penerbit Erlangga, Jakarta 

Ditulis oleh Esti Rizkyati W. dan Ghea Rizki

Minggu, 08 Mei 2016

Komersialisasi Tingkat Pendidikan


Salah satu hak asasi manusia yang didapat sebagai warga negara Indonesia adalah memperoleh pendidikan, sebab pendidikan merupakan hak dasar bagi seseorang untuk mengembangkan diri. Melalui pendidikan pula kita akan mendapat banyak manfaat seperti memiliki berbagai ilmu pengetahuan yang kelak dapat berfungsi untuk meningkatkan kualitas hidup sekaligus mewujudkan kesejahteraan bangsa. Dalam UUD 1945 yang dijadikan pedoman sumber tertib hukum oleh bangsa Indonesia, pada pasal 31 ayat 3 menyatakan, Pemerintah mengusahakan dan mennyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 20 taun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Dan sejak Juni 2015 telah diberlangsungkan wajib belajar 12 tahun mulai tingkat SD, SMP hingga SMA, kita mengenalnya dengan “Sekolah Gratis. Dana BOS diberikan oleh pemerintah pusat  kepada setiap provinsi di Indonesia untuk masing-masing sekolah. Anggaran ini dapat diketahui secara transparan, dan dapat dikatakan lebih dari cukup untuk manifestasi keperluan sekolah mulai dari pembangunan sekolah, pengembangan fasilitas, hingga buku-buku untuk para peserta didik dipinjamkan melalui dana BOS. Namun pada kenyataannya, masih ada pungutan dana dari pihak sekolah dengan berbagai macam alasan yang dikeluhkan oleh para wali murid. Dan sayangnya, komersialisasi pendidikan ini oleh beberapa pihak sekolah telah dianggap wajar semenjak dulu, dengan berbagai macam alasan seperti perbaikan infrastruktur sekolah, pembelian buku wajib, SPP yang terlalu mahal melampaui tingkat perekonomian masyarakat sendiri, dan masih banyak lagi.

Bentuk komersialisasi pada tingkat pendidikan, tidak hanya pada bangku sekolah tetapi juga di bangku kuliah. Kita tahu bahwa kini perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan kian cepat berubah dan berkembang, era globalisasi semakin terasa nyata. Hal ini tentu saja membawa dampak pada persaingan dalam dunia pekerjaan yang semakin ketat. Bisa kita lihat dengan perjanjian kerjasama Indonesia dengan  antarnegara ASEAN dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Tahun ini resmi dibuka pasar bebas ASEAN yang membuat daya saing dan kompetisi makin terasa. Mau tidak mau dan siap tidak siap, Indonesia harus siap menghadapi. Hal ini tentu berpengaruh besar bagi Perguruan Tinggi di Indonesia. Kita bisa lihat bagaimana usaha Perguruan Tinggi membekali mahasiswanya dalam menghadapi pasar MEA. Kita bisa lihat banyaknya seminar-seminar yang diadakan oleh dan untuk mahasiswa. Ya, Perguruan Tinggi berlomba-lomba ingin mengembangkan mahasiswa-mahasiswanya menjadi lulusan terbaik dan mampu bersaing dengan masyarakat Indonesia serta luar negeri. Hal ini juga menjadi beban bagi pemerintah agar Indonesia tidak tergerus arus persaingan sehingga menyebabkan banyaknya pengangguran.
Dalam mengatasi persoalan ini, pemerintah menciptakan wewenang otonom kepada Perguruan Tinggi dalam mengelola lembaganya sendiri sebagai penyelenggara Tridharma baik akademik maupun nonakademik yang tercantum dalam Undang-undang no 12 tahun 2012 yakni mengubah beberapa PTN-BHMN jadi PTN-BH. Sehingga meringankan beban negara dalam mengatur Pendidikan. Perbedaan PTN-BH dengan PTN-BHMN adalah PTN-BH diperbolehkan untuk menarik biaya kepada para mahasiswanya, yang biasa kita kenal dengan Uang Kuliah Tinggal (UKT). Sehingga pemasukan PTN-BH telah dicanangkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan selain Anggaran Pendapatannya Belanja Negara.
Hal ini secara nyata tentu saja memberikan manfaat yang cukup besar karena sejalan dengan ketentuan otonomi PTN-BH yang mempunyai hak untuk mengelola perguruan Tinggi sesuai karakteristik bidang, lingkungan dan wilayahnya. Apabila terdapat persamaan persepsi dan moral yang tertanam di Perguruan Tinggi dan tanpa tercampuri oleh kepentingan pribadi Perguruan Tinggi, maka pemerataan pendidikan juga dapat terlaksana. Kebijakan ini akan berjalan sesuai dengan harapan pemerintah, sehingga perguruan tinggi dan masyarakat juga akan merasakan dampak bahwa tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kebijakan yang harus dipraktekkan dengan pengawasan dan pemantauan serta evaluasi yang transparan. Akuntabilitas dan transparansi adalah poin penting yang perlu dilakukan agar kepercayaan antar pihak terjaga.
Namun pada kenyataannya Uang Kuliah Tinggal (UKT)  dirasakan memberatkan keluarga mahasiswa dan banyak pihak yang ingin menghapus sistem UKT. Sebenarnya sistem ini sudah bagus, membantu pemerintah dalam mengatasi pemerataan Pendidikan. UKT dipergunakan sebagai subsidi silang, dimana mahasiswa yang kurang mampu dapat sekolah dengan dibantu biaya dari pemerintah dan mahasiswa yang mampu. Namun, pada pelaksanaannya masih banyak tugas yang perlu dibenahi karena yang telah dijalankan selama ini tidak sesuai dengan tujuan awal. Sistem UKT yang diberikan oleh kementrian dibedakan menjadi beberapa tingkatan. Perolehan tingkat mana yang dikenakan oleh mahasiswa akan diukur dari kemampuan ekonomi mahasiswa dan orang tua mahasiswa atau orang yang membayari biaya mahasiswa. Yakni dari pendapatan yang bersangkutan seharusnya yaitu sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2012.
Tercantum dalam PP No. 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan PTN-BH, yaitu Standar Tarif Biaya Operasional Pendidikan yang ditentukan oleh Menteri, dengan mempertimbangkan :
1. Capaian Standar Nasional Perguruan Tinggi
2. Jenis Program Studi
3. Indeks kemahalan wilayah
Dan penetapan tarif biaya Pendidikan (UKT) yang ditujukan kepada mahasiswa mempertimbangkan kemampuan ekonomi:
1. Mahasiswa;
2. Orang tua mahasiswa; atau
3. Pihak lain yang membiayai mahasiswa
Persoalan secara nyata yang dialami banyak mahasiswa adalah mendapatkan tingkatan UKT yang tidak sesuai dengan kemampuan ekonominya karena memberatkan. Hal inilah yang perlu diadakannya pengawasan dan evaluasi. Seharusnya PTN tidak melihat dari pendapatan gaji dan pengeluaran daya tetapi juga mempertimbangkan dari segi tanggungan-tanggungan orang tua atau individu yang membayari biaya kuliah mahasiswa tersebut. 
Selain itu, pemberian beasiswa kurang mampu kepada mahasiswa seharusnya diseleksi lebih ketat dan bertanggungjawab dikarenakan masih banyak penyaluran beasiswa kurang mampu yang belum tepat sasaran. Beasiswa kurang mampu benar-benar ditujukan kepada mahasiswa yang kurang mampu. Serta diberantasnya oknum-oknum yang memanfaatkan wewenangnya guna menguntungkan kepentingan pribadinya. Perlu adanya kesadaran pemikiran yang berorientasi pengabdian masyarakat dalam tiap benak pihak yang bersangkutan, karena perlu diingat pula mengenai Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran; penelitian dan pengembangan; dan pengabdian masyarakat.

What can we do as a college students? Sebagai mahasiswa yang dapat kita lakukan salah satunya ialah menjadi kontrol eksternal. Menjalankan fungsi pengawasan dan memberi solusi kritis atas transparansi dan pertanggungjawaban pihak PT. Seperti halnya mempertanyakan kembali,  apakah jumlah kisaran UKT yang diterima sudah adil dan tidak memberatkan? Sebab perlu di ingat selain dana APBN, APBD, UKT, ada pula dana kemitraan dan usaha tridharma. Dan apakah setiap pelaksanaan perguruan tinggi sudah berasaskan tridharma perguruan tinggi? Dalam arti tidak adanya pihak yang menyalahgunaan wewenang otonom perguruan tinggi.
Mungkin ini adalah segelintir kecil permasalahan mengenai komersialisasi pendidikan. Namun kita jangan begitu saja pesimis dengan sistem ini. Pada intinya, perlu pengawasan dan evaluasi yang transparan dan akuntabel secara berkelanjutan dan dikerjakan dengan sungguh oleh pihak-pihak terkait. Hal ini telah terjamin dalam Undang-Undang Nomer 12 tahun 2012 pasal 63 bahwa otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip akuntabilitas; transparansi; nirlaba; penjaminan mutu; dan efektivitas dan efisiensi. Dengan begitu, diharapkan Indonesia mampu mewujudkan perguruan Tinggi yang benar-benar mengembangkan mahasiswa-mahasiswa yang adaptif, berdaya saing kuat dan bermanfaat bagi Negara Indonesia. 

Ditulis oleh Elkanita Dwi K. dan Novia Putri Nur I.S

Jumat, 06 Mei 2016

Pemerataan Pendidikan di Indonesia

Indonesia sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk yang cukup besar memiliki tantangan untuk memberikan pendidikan yang berkualitas bagi setiap warga negaranya. Jumlah penduduk Indonesia secara langsung berkaitan erat dengan penyedian sarana dan prasarana serta pendidik yang berkualitas.  Sedangkan persebaran penduduk yang tidak merata di wilayah Indonesia dapat memicu munculnya berbagai masalah di sektor pendidikan.

Diagram 1.  penyebaran penduduk

Berdasarkan diagram diatas, nampak bahwa jumlah penduduk terbesar berada di Pulau Jawa. Penduduk yang menumpuk di Pulau Jawa menyebabkan penyebaran pendidikan yang kurang merata bagi wilayah di luar Pulau Jawa hingga terkesan Jawa sentris. Pembangunan di sektor pendidikan yang terpusat di Pulau Jawa dan perkotaan khususnya di wilayah dekat pusat pemerintahan menyebabkan perbedaan yang besar bagi pembangunan pendidikan di luar wilayah tersebut.

Adapun beberapa permasalahan pendidikan yang perlu diatasi yakni (1) Distribusi penduduk yang tidak merata dengan jumlah penduduk terbanyak di Pulau Jawa menyebabkan keberadaan jumlah sekolah dan tenaga pendidik terbatas di luar Pulau Jawa, (2) Jumlah penduduk yang terus meningkat dan kurang terkendali menyebabkan sulitnya penyusunan kebijakan, (3) Laju pertumbuhan yang berbeda-beda menyebabkan banyaknya sekolah di luar Pulau Jawa yang tertinggal. Dan (4) Area geografis Indonesia menyebabkan sulitnya akses teknologi bagi sebagian wilayah sehingga pembangunan sarana dan prasarana pendidikan tidak terjangkau oleh seluruh warga Indonesia.

Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mengetahui penyebaran pendidikan, salah satunya dengan mengamati jumlah perguruan tinggi beserta tenaga pendidiknya. Banyaknya perguruan tinggi di jawa dan kualitas pendidikan yang sedikit lebih baik terkadang menyebabkan para penduduk di pedesaan  berbondong-bondong  mengikuti seleksi di perkotaan khususnya Pulau Jawa. Namun, pada kenyataanya banyak lulusan yang berasal dari wilayah pinggiran dan pedesaan harus kecewa karena kalah saing dengan lulusan dari kota yang fasilitas pendidikannya lebih berkualitas.

Provinsi
Jumlah Perguruan Tinggi
Jumlah Mahasiswa
Jumlah Tenaga Edukatif
Negeri
Swasta
Negeri
Swasta
Negeri
Swasta
Aceh
3
99
49,221
50,405
3,361
4,835
Sumatera Utara
3
259
46,217
376,445
4,155
10,628
Sumatera Barat
5
102
68,382
93,914
3,925
3,492
Riau
2
75
41,991
75,787
2,025
2,757
Jambi
1
42
16529
35619
1296
1443
Sumatera Selatan
2
115
28,516
133,823
2,193
4,168
Bengkulu
1
16
17212
36314
1087
1016
lampung
2
80
17,920
76,090
1,655
2,707
Kepulauan Bangka Belitung
2
12
3173
4773
266
244
Kepulauan Riau
2
26
2039
23108
122
950
DKI Jakarta
5
329
570,578
584,388
6,006
20,897
Jawa Barat
7
393
138,741
527,881
9,067
19,605
Jawa Tengah
7
265
140,563
296,357
8,170
11,378
DI Yogyakarta
3
124
99,780
181,854
4,623
6,826
Jawa Timur
15
363
200,815
565,309
10,934
18,088
Banten
1
113
15,244
117,689
807
4,102
Bali
4
58
35,807
51,271
3,209
2,500
Nusa Tenggara Barat
1
55
18,949
90,388
1,437
2,814
Nusa Tenggara Timur
3
43
18101
57,233
1504
1,905
Kalimantan Barat
3
42
26278
43082
1571
1335
Kalimantan Tengah
1
23
11,604
16,792
1,084
808
Kalimantan Selatan
2
47
20,978
55,636
1,696
1,723
Kalimantan Timur
5
60
42,104
42,101
1,740
1,875
Kalimantan Utara
Sulawesi Utara
4
44
33,891
25,439
3,401
1,394
Sulawesi Tengah
1
33
18,641
42,307
1,530
1,635
Sulawesi Selatan
4
208
64,907
239,142
4,681
7,808
Sulawesi Tenggara
1
38
18,727
41,414
1,330
1,580
Gorontalo
1
11
18628
16072
870
621
Sulawesi Barat
12
17983
513
Maluku
3
23
14822
29498
1607
856
Maluku Utara
1
16
7113
19015
567
958
Papua Barat
2
16
4581
17135
621
598
Papua
2
39
15188
28083
993
1323
Indonesia
99
3,181
1,827,240
4,012,347
87,533
143,382
Tabel 1.  jumlah perguruan tinggi, mahasiswa, dan tenaga pendidik

Akses teknologi yang mudah dijangkau di perkotaan dibanding pedesaan juga turut andil dalam memunculkan kesenjangan kualitas pendidikan. Jaringan internet yang buruk di pedesaan dapat menunda terjadinya transfer informasi. Selain itu, akses jalan yang kurang memadai menyulitkan para pelajar yang hendak berangkat menempuh pendidikan. Banyak dari para pelajar kita yang harus menyebrangi sungai bahkan lautan hanya untuk memperjuangkan harapannya bersekolah. Jarak tempuh yang jauh karena jumlah sekolah yang kurang memadai juga tidak lepas dari ironi pendidikan di Indonesia. Ruang-ruang kelas yang kurang layak juga banyak kita dapati di wilayah-wilayah pedesaan. Tidak jarang ruang kelas yang mereka miliki memiliki atap yang hampir roboh dan hanya beralaskan tanah. Buku-buku yang mereka gunakan merupakan buku-buku terbitan lama.

Untuk mengatasi persoalan ini, sebetulnya pemerintah telah menciptakan beberapa kebijakan, yakni: membuat program wajib belajar 9 tahun, yang dimulai dari pendidikan dasar hingga menengah awal. Namun, sebagian wilayah telah menerapkan wajib belajar hingga 12 tahun, selain itu pemerintah juga membuat layanan perpustakaan keliling di berbagai wilayah Indonesia, mengadakan proyek pengadaan buku paket gratis di berbagai sekolah, melakukan penyebaran guru-guru di wilayah tertentu di Indonesia. Dan pemberian dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Tujuan dari diberikannya dana BOS adalah untuk membebaskan pungutan bagi seluruh siswa  negeri dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, membebaskan pungutan seluruh siswi miskin dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun baik yang bersekolah di negeri maupun di swasta, meringankan biaya operasional bagi siswa di sekolah swasta. Bantuan beasiswa juga banyak diberikan oleh pemerintah.

Lalu sebagai generasi muda, apa yang dapat kita lakukan untuk membantu warga negara indonesia dalam mendapatkan pendidikan yang layak?

1. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan serta mampu menjadi transfer of knowledge untuk menyebarkan ilmu yang sudah dimiliki ke luar kampus terutama di kalangan menengah kebawah yang akses pendidikannya masih cukup rendah
Hal ini diperlukan agar kita dapat menjadi lulusan yang berkualitas dengan memiliki skill keahlian. Tanpa adanya skill atau kompetensi, harapan untuk ikut serta memajukan pendidikan Indonesia hanya menjadi angan-angan karena tidak akan berjalan efektif.

2. Ikut berperan aktif dalam menyikapi kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan ideologi dan tujuan yang jelas.
Sebagai agent of change, mahasiswa dapat turut serta menyuarakan aspirasinya kepada pemerintah apabila ada kebijakan terkait pendidikan yang ingin dikritisi. Peran serta media dapat dimanfaatkan sebagai lahan untuk menyuarakan aspirasi. Hal ini tentunya dilakukan dengan berdasar pada tujuan serta ideologi yang jelas, yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.

3. Ikut serta dalam pembangunan kualitas pendidikan di wilayah terpencil.
Dewasa ini dapat kita jumpai beberapa pemuda Indonesia yang terpanggil untuk mencurahkan waktu dan tenaganya dengan menjadi tenaga pendidik di wilayah terpencil. Beberapa program seperti Indonesia Mengajar menjadi cukup populer dan diminati hingga akhirnya diresmikan menjadi program pemerintah. Hasilnya, cukup banyak cerita menginspirasi dari para pemuda pemudi bangsa ini. Dengan menghitung kembali kapasitas dan potensi yang dimiliki kita juga dapat mengikuti jejak mereka dan pulang ke daerah asal dengan membawa segudang inspirasi!

Kajian pustaka

Danim, Sudarwan. 2008. Media komunikasi Pendidikan. Bumi Aksara : Jakarta.
http://www.antikorupsi.org/id/content/rapor-merah-sepuluh-tahun-korupsi-pendidikan
http://salur.bos.kemdikbud.go.id/


Ditulis oleh:
Manzilatur Rahmah, Ahmad Fauzan