Viewers

"The mind is like an iceberg, it floats with one-seventh of its bulk above water." ~ Sigmund Freud

Selasa, 05 April 2016

KASTRA, "One Step to Justice", Sebuah Motivasi untuk Berpikir Kritis

Pernahkah kamu berpikir jika psikologi adalah ilmu yang mampu membaca keseluruhan sifat manusia seperti apa yang biasa dilakukan para 'fortune teller'? Apakah kamu juga beranggapan jika psikologi hanyalah suatu ilmu yang mencetak para psikolog agar 'sok tahu' tentang kondisi setiap alam pikiran manusia? Atau justru kamu adalah mahasiswa psikologi yang sedang kesal karena orang-orang memperlakukanmu seperti 'dukun'? Lebih parah lagi; sebagai mahasiwa psikologi, pernahkah kamu kesal karena mendengar pendapat bahwa mempelajari psikologi adalah hal yang terlalu remeh; tak seberat ilmu-ilmu eksakta pada umumnya? Jika kita mampu menyadari, hal-hal tersebut tentunya dapat memunculkan pandangan sinis tentang keilmuan psikologi saat ini. Ilmu psikologi yang sejatinya dapat memperkaya berbagai cabang keilmuan dunia seolah berubah menjadi keilmuan pasif, terutama jika dihadapkan dengan pemecahan masalah dalam masyarakat. Padahal, ini semua hanyalah rentetan argumen tanpa pembekalan bukti pekat. Psikologi tak mungkin mendapatkan label sesempit itu jika para mahasiswanya masih mampu untuk berpikir kritis, terutama untuk mahasiswa-mahasiswi fakultas psikologi Universitas Airlangga.

Ini bukan tulisan ilmiah, bukan pula sekedar curhatan seorang mahasiswa di tengah-tengah dinamika tugas kampus. Ini adalah cerita tentang pergerakan sebuah organisasi yang tengah mencari esensi pada berbagai gejolak. Saat semua orang terjebak dalam kenikmatan zona nyaman, saat itulah dibutuhkan sesuatu yang lebih menggelitik dan mengguncang kemapanan.

Beberapa bulan yang lalu sempat terjadi simpang siur di lingkungan fakultas psikologi tentang berdirinya sebuah departemen baru sebagai bagian dari Badan Eksekutif Mahasiswa fakultas. Tak banyak yang tahu sebenarnya apa urgensi terbentuknya departemen tersebut. Namanya saja sudah asing, apalagi program-program kerja yang ada di dalamnya. Bahkan, untuk mengkaji sebuah "isu" bagi mayoritas keluarga mahasiswa psikologi di Universitas Airlangga mungkin bukanlah sesuatu yang dianggap menarik. Keterikatan dengan stigma eksklusivitas dari lingkungan universitas membuat warga psikologi lebih asyik menggeluti dunianya sendiri. Tak masalah jika itu hanya menjadi bagian dari alat pemuas diri, namun semuanya dapat berubah saat orang-orang di lingkungan Universitas Airlangga menanyakan "bagaimana dengan kontribusi fakultas psikologi?". Pertanyaan tersebut sebenarnya tak memiliki arti bahwasanya mahasiswa-mahasiswi fakultas kita tercinta sama sekali tidak pernah berkiprah di luar fakultas. Hanya saja mereka seakan meminta kita untuk sadar bahwa Universitas Airlangga membutuhkan kontribusi lebih dari kita. Sebuah kontribusi nyata dari keilmuan yang mampu membahas aspek mental dan perilaku manusia secara mendalam; yaitu ilmu psikologi.

Sebut saja departemen Kajian Isu Strategis, sebuah departemen yang berdiri demi tujuan "membangkitkan pikiran kritis". Tampaknya begitu spele, kurang penting, dan terkesan mengada-ada. 'Cuma' masalah kritis, kenapa sampai harus membentuk sebuah departemen tersendiri? Apalagi program keja departemen ini pasti memerlukan anggaran besar. Well, ini aneh. Buat apa sih kita sibuk memperkarakan kritis atau tidak? Toh, psikologi nantinya juga terfokus pada permasalahan-permasalahan individu; baik klinis, sosial, pendidikan perkembangan, serta industri organisasi. Semuanya terpaku dalam persoalan individualistik. Pikiran kritis adalah hak masing-masing individu, bukan sesuatu yang harus terorganisir secara kolektif. Cukup sarkastik, namun tak selamanya pernyataan-pernyataan ini dapat dikatakan benar.

KASTRA, "One Step to Justice", Sebuah Motivasi untuk Berpikir Kritis

Pernahkah kamu berpikir jika psikologi adalah ilmu yang mampu membaca keseluruhan sifat manusia seperti apa yang biasa dilakukan para 'fortune teller'? Apakah kamu juga beranggapan jika psikologi hanyalah suatu ilmu yang mencetak para psikolog agar 'sok tahu' tentang kondisi setiap alam pikiran manusia? Atau justru kamu adalah mahasiswa psikologi yang sedang kesal karena orang-orang memperlakukanmu seperti 'dukun'? Lebih parah lagi; sebagai mahasiwa psikologi, pernahkah kamu kesal karena mendengar pendapat bahwa mempelajari psikologi adalah hal yang terlalu remeh; tak seberat ilmu-ilmu eksakta pada umumnya? Jika kita mampu menyadari, hal-hal tersebut tentunya dapat memunculkan pandangan sinis tentang keilmuan psikologi saat ini. Ilmu psikologi yang sejatinya dapat memperkaya berbagai cabang keilmuan dunia seolah berubah menjadi keilmuan pasif, terutama jika dihadapkan dengan pemecahan masalah dalam masyarakat. Padahal, ini semua hanyalah rentetan argumen tanpa pembekalan bukti pekat. Psikologi tak mungkin mendapatkan label sesempit itu jika para mahasiswanya masih mampu untuk berpikir kritis, terutama untuk mahasiswa-mahasiswi fakultas psikologi Universitas Airlangga.

Ini bukan tulisan ilmiah, bukan pula sekedar curhatan seorang mahasiswa di tengah-tengah dinamika tugas kampus. Ini adalah cerita tentang pergerakan sebuah organisasi yang tengah mencari esensi pada berbagai gejolak. Saat semua orang terjebak dalam kenikmatan zona nyaman, saat itulah dibutuhkan sesuatu yang lebih menggelitik dan mengguncang kemapanan.

Beberapa bulan yang lalu sempat terjadi simpang siur di lingkungan fakultas psikologi tentang berdirinya sebuah departemen baru sebagai bagian dari Badan Eksekutif Mahasiswa fakultas. Tak banyak yang tahu sebenarnya apa urgensi terbentuknya departemen tersebut. Namanya saja sudah asing, apalagi program-program kerja yang ada di dalamnya. Bahkan, untuk mengkaji sebuah "isu" bagi mayoritas keluarga mahasiswa psikologi di Universitas Airlangga mungkin bukanlah sesuatu yang dianggap menarik. Keterikatan dengan stigma eksklusivitas dari lingkungan universitas membuat warga psikologi lebih asyik menggeluti dunianya sendiri. Tak masalah jika itu hanya menjadi bagian dari alat pemuas diri, namun semuanya dapat berubah saat orang-orang di lingkungan Universitas Airlangga menanyakan "bagaimana dengan kontribusi fakultas psikologi?". Pertanyaan tersebut sebenarnya tak memiliki arti bahwasanya mahasiswa-mahasiswi fakultas kita tercinta sama sekali tidak pernah berkiprah di luar fakultas. Hanya saja mereka seakan meminta kita untuk sadar bahwa Universitas Airlangga membutuhkan kontribusi lebih dari kita. Sebuah kontribusi nyata dari keilmuan yang mampu membahas aspek mental dan perilaku manusia secara mendalam; yaitu ilmu psikologi.

Sebut saja departemen Kajian Isu Strategis, sebuah departemen yang berdiri demi tujuan "membangkitkan pikiran kritis". Tampaknya begitu spele, kurang penting, dan terkesan mengada-ada. 'Cuma' masalah kritis, kenapa sampai harus membentuk sebuah departemen tersendiri? Apalagi program keja departemen ini pasti memerlukan anggaran besar. Well, ini aneh. Buat apa sih kita sibuk memperkarakan kritis atau tidak? Toh, psikologi nantinya juga terfokus pada permasalahan-permasalahan individu; baik klinis, sosial, pendidikan perkembangan, serta industri organisasi. Semuanya terpaku dalam persoalan individualistik. Pikiran kritis adalah hak masing-masing individu, bukan sesuatu yang harus terorganisir secara kolektif. Cukup sarkastik, namun tak selamanya pernyataan-pernyataan ini dapat dikatakan benar.

Plato dan Aristoteles merupakan dua manusia abadi dalam ingatan para filsuf. Keabadian yang dimaksudkan bukanlah abadi secara fisik, namun pemikiran-pemikiran mereka yang mampu mengguncang keilmuan dunia. Mereka menciptakan berbagai katarsis yang membuat banyak orang bertanya-tanya, benarkah memang demikian adanya? Kedua tokoh ini berhasil membuat orang-orang tak lekas percaya, mencari kekurangan, serta berpikir ulang tentang sebuah keadaan. Secara definitif, situasi ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan pemikiran kritis. Kritis dalam KBBI memiliki arti 'bersifat tidak lekas percaya, bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan, serta tajam dalam penganilisisan'. Dampak dari pemikiran kritis inilah berbagai macam cabang keilmuan tercipta, dan salah satunya adalah ilmu psikologi. Bukan tanpa sebab yang panjang sebuah ilmu mampu berdiri dengan gagahnya, tentu saja; jutaan penelitian dengan analisis tajam adalah tiang kokoh keberlangsungan sebuah ilmu.

Kritis tak hanya hadir dalam perkara teori keilmuan semata. Kehadiran sebuah ilmu tentu memiliki esensi kemaslahatan bagi manusia, terutama masyarakat luas. Sebagai mahasiswa yang tak hanya terpaku dengan kepentingan pribadi, alangkah bijaknya jika tujuan dari menuntut ilmu adalah mencapai kualitas diri sebagai manusia yang berguna. Urgensi berpikir kritis adalah ketika kita memerlukan sebuah masalah untuk dipecahkan. Akan selalu ada celah yang kurang benar untuk dapat diperbaiki, terlepas dari cara kita menentukan perspektif penyelesaiannya. Dalam melakukan penelitian, pikiran kritis merupakan landasan utama sehingga seorang peneliti mampu menciptakan hal-hal baru yang mengesankan dan mengembangkan aspek keilmuan. Jadi, masihkah kamu ragu untuk berpikir kritis?

Inilah otoritas Departemen Kajian Isu Strategis untuk keluarga mahasiswa psikologi Universitas Airlangga. Pemikiran kritis dapat tercipta melalui stimulus berupa suatu kejadian yang kemunculannya pasti dipertanyakan banyak orang. Sebuah isu yang dipaparkan secara terorganisir tentu akan lebih efektif daripada sekedar kesimpang-siuran tanpa adanya pengarahan solusi. Perspektif keilmuan psikologi yang begitu kaya dan cenderung dapat diaplikasikan pada semua bidang sejatinya membuka kesempatan bagi para mahasiswa untuk berkiprah melalui pikiran kritisnya. Dimana ada manusia, di sanalah psikologi dibutuhkan. Pengetahuan-pengetahuan baru serta pengalaman-pengalaman nyata untuk berkontribusi mengawal kepentingan masyarakat tentu membutuhkan analisa yang tepat dan tajam agar kita tak salah langkah dalam mengambil tindakan. Inilah alasannya kenapa harus ada KASTRA di fakultas kita tercinta. Kita menjadi lebih peka, tak mudah percaya begitu saja, serta memiliki wadah untuk bersuara.

'Awareness', satu kata yang ingin KASTRA bangkitkan dalam lingkungan fakultas. Sebuah tahap untuk mencapai keadilan bagi masyarakat kini dapat kamu ciptakan melalui segala pemikiran luar biasa yang kamu miliki. Tulisan ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk kritik kepada keluarga mahasiswa fakultas psikologi tercinta, sekaligus menjadi pemantik bagi siapa saja yang masih peduli dan peka terhadap kepentingan banyak orang. Tak ada kata terlambat untuk belajar dan berbuat. Selagi masih ada waktu, tak ada salahnya kita mencoba membuat suatu perubahan nyata. Pertanyaannya, sudah siapkah kamu untuk berubah?

Salam #KritisDiplomatis

Ditulis oleh Anindya Gupita K
Untuk KM Psikologi UNAIR

Departemen Kajian Isu Strategis
BEM KM Psikologi UNAIR
#BermanfaatdanBermakna

Senin, 04 April 2016

Pengaruh Faktor Lingkungan pada Perkembangan dan Perilaku Anak

Pernahkah anda mendengar beberapa tempat lokalisasi yang kini telah dibubarkan? Sepertinya memang tidak banyak, tetapi jika Anda telusuri lebih lanjut mungkin akan menemukan lebih banyak. Tetapi yang akan saya bahas disini bukanlah prostitusinya, mucikari atau pekerjaanya. Disini saya akan sedikit mengulas fenomena yang cukup miris. Beberapa waktu lalu, saya mendapat informasi dari teman saya yang waktu itu iseng menuju suatu tempat prostitusi, Ia pergi dengan beberapa temannya. Saya tidak begitu memikirkan mengapa mereka pergi ke tempat tersebut. Tapi, ada satu informasi yang membuat saya cukup terperengah waktu itu. Teman saya mengatakan bahwa beberapa pekerja seksual sudah memiliki anak dan yang lebih mengherankan lagi adalah mereka membawa anaknya ke tempat mereka melayani pelanggan. Terkadang anak mereka dititipkan kepada temannya atau jika tidak dititipkan, maka mereka akan membawa anaknya ketempat dimana Ia melakukan hubungan intim dengan pelanggan. Saya bisa membayangkan kalau anak tersebut akan merasa ketakutan berada ditempat yang gelap, tidak nyaman, dan melihat ibunya berteriak seperti kesakitan. Gusti… apa yang salah dengan hidup anak itu. Saya begitu terkaget mendengar hal itu. Jika Anda bertanya kepada Sang Ibu, mungkin Sang Ibu akan memberikan jawaban sederhana “Kalau saya tidak bekerja, siapa yang akan menghidupi anak saya?”. Yaaa mungkin begitulah kurang lebih. Sekali lagi saya tidak akan menulis tentang mereka-mereka yang memilih bekerja seperti itu. Jadi mari kita berpindah fokus.
Saya lebih penasaran tentang bagaimana dengan perkembangan anak itu, apa yang akan dilakukan setelah dewasa? Menjadi seperti ibunya kah? Bersekolah tinggi kemudian menjadi sukses dimasyarakat kah? Saya sendiri pun tidak tahu. Tapi, ada satu teori belajar yang sedikit memberi angan-angan bagaimana anak tersebut akan tumbuh. Teori Modeling Bandura. Modeling adalah proses belajar dengan pemberian informasi, contohnya perilaku orang dewasa yang dilihat oleh anak-anak secara berulang, film yang ditonton anak dan lainnya. Dalam teori ini terdapat tiga tahap yaitu :
  1. Proses Atensional: proses memperhatikan apa yang dilihatnya
  2. Proses Retensional: proses mengingat atau menyimpan suatu informasi, dalam hal ini terdapat dua cara yakni imajinatif dan verbal. Jika seorang individu menggunakan cara imajinatif maka informasi itu akan disimpan dengan gambaran apa yang telah dialami model (orang yang dilihatnya), sedangkan verbal adalah menyimpan informasi tersebut dengan kode.
  3. Behavioral Production Process: proses yang terakhir dimana individu akan mempresentasikan apa yang sudah ia pelajari kedalam bentuk tindakan.
Dari sedikit ulasan teori belajar diatas mungkin anda sudah bisa menyimpulkan sendiri apa yang saya maksud. Hal ini juga tidaklah mudah bagi anak tersebut karena ia berada dilingkungan seperti itu. Tapi, mari kita tidak hanya terfokus pada anak itu, cobalah lihat apa yang ditonton oleh anak-anak disekitar anda? Apa yang mereka jadikan hiburan ketika orang tuanya sibuk? Tidaklah sedikit tontonan yang tidak pantas untuk anak-anak. Bukan hanya tontonan televisi saja, tapi perilaku orang tua di depan anaknya. Perilaku-perilaku yang kurang baik secara tidak sadar telah dicontohkan kepada anaknya. Baiknya orang tua pandai mengatur strategi dan menjelaskan kepada anak mana tontonan yang benar untuk mereka dan berusaha memberi contoh perilaku yang baik didepan anaknya. Ingat pepatah bahwa “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Mungkin pepatah ini ada benarnya karena anak akan meniru dari hasil belajarnya, dari siapa lagi anak mendapatkan informasi atau belajar perilaku jika tidak dari orang dekatnya? Memang orang tua memiliki andil yang lebih besar dari orang lain, tapi kita juga harus memperhatikan lingkungan sekitarnya seperti orang yang mengasuh, teman di sekolah dan yang lainnya. Tujuan ditulisnya artikel ini adalah supaya kita sadar bahwa anak tidak sepenuhnya salah jika ia berperilaku buruk. Oleh karena itu, untuk siapa pun yang membaca artikel ini diharapkan lebih peduli kepada penerus bangsa kita kelak. Terima kasih.

Ditulis oleh Bilqis Dusturia