“We make war that we may live in peace”
– Aristoteles (384-322 SM)
Aristoteles merupakan salah satu
filsuf paling berpengaruh dalam peradaban Barat modern. Oleh karena itu, dalam memahami
pernyataan Aristoteles di atas memerlukan pemahaman lebih lanjut. Apakah benar,
kita membutuhkan perang untuk menciptakan kedamaian? Pertanyaan menggelitik itu
sebenarnya terjawab secara implisit dalam teori perkembangan Jean Piaget.
Piaget berpendapat, manusia secara kognitif akan menemukan konflik klasik: assimilation
dan accommodation. Manusia senantiasa akan menemui ketidakcocokkan
pemahaman antara konsep yang dimiliki dengan fenomena yang terlihat,
dilanjutkan dengan munculnya konsep baru setelah konflik tersebut terjadi (Miller,
2011).
Kolaborasi Aristoteles dan Piaget di
atas, nyatanya tak bisa diterima secara universal. Banyaknya persepsi dan
situasi di seluruh dunia, menyebabkan definisi
damai bukan hanya milik mereka, ratusan bahkan ribuan tokoh berpengaruh di
dunia telah menyebarkan kata-kata mutiara mengenai perdamaian, namun
sebenarnya, adakah persepsi yang sama mengenai hal itu?
Pertanyaan tersebut dicoba untuk
dijawab oleh Anderson (2004). Dalam tulisannya, Anderson mencoba untuk
menghimpun pengertian-pengertian tentang perdamaian. Kesimpulannya, adalah
sebuah konstruk two-dimensional yang saling berinteraksi antara lingkup
perdamaian dan persepsi kedamaian itu sendiri.
Tabel 1 Reduced
context of peace. Diperoleh dari Anderson (2004).
Dalam model tersebut, diperlihatkan bahwa perdamaian telah memiliki
berbagai konteks, tergantung dimana masalah tersebut terjadi, kondisinya, serta
urgensi pemenuhan kebutuhan akan perdamaian itu sendiri. Anderson (2004)
melanjutkan, perdamaian dapat diukur secara obyektif dan subyektif, dampak
kekerasan dan harmoni pada situasi tersebut, serta dibahas dalam konteks
tertentu.
Menanggapi model perdamaian yang berhubungan dengan kekerasan dan
harmoni, lantas menimbulkan sebuah pertanyaan. Pada model masyarakat seperti
apakah perdamaian dapat hadir? Konsep perdamaian kerapkali dikaitkan dengan
model masyarakat yang bersifat pluralistis. Bersikap plural, atau majemuk
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2015). Namun, konsep pluralitas dan pluralisme
yang merupakan jargon dalam menghadapi penghinaan SARA (seks, agama, ras, dan
antar golongan), seringkali tak mendapatkan pemaknaan yang global. Terkait
plural, apakah kemajemukan hanya terkait kebersamaan atau terkait
pandangan kebenaran?
Bagaimanapun, konsep perdamaian dan masyarakat plural, akhirnya
saling melengkapi dalam memandang definisi yang lebih operasional mengenai
perdamaian. Pada konteks intrapersonal, hal ini dapat dilihat dari model
penerimaan diri antara ideal self dan real self dari Rogers,
dibutuhkan untuk mencapai kesejahteraan individu (Feist, Feist, & Roberts,
2013). Masyarakat plural, memiliki dinamika masing-masing dalam menjalani
kehidupan dengan konflik seminimal mungkin untuk menghindari pertikaian.
Dinamika pada masyarakat plural (heterogen) inilah yang akhirnya
sering ditelaah oleh para peneliti untuk mencari tahu esensi perdamaian dalam
konteks interpersonal. Namun, stigma atas ras tertentu, hingga peraturan
masyarakat, mungkin menghalangi terjadinya konflik. Saat itulah, kita diminta
untuk paham bahwa konsepsi perdamaian sendiri merupakan sesuatu yang utopis,
dikarenakan ia bagai paradoks Zeon terhadap alam. Perdamaian konteks makro akan
terus dibelah untuk menemukan konflik yang lebih kecil, hingga akhirnya berada
dalam konflik intrapersonal, yang selalu terjadi dalam diri kita.
Mungkinkah Perdamaian Diwujudkan?
The Robbers Cave Experiment
adalah penelitian tahun 1996 dari Sherif, dkk. yang menceritakan konflik
antarkelompok dan pemecahannya adalah subordinate goal, atau tujuan
untuk kepentingan bersama yang harus dikerjakan bersama-sama (Ariyanto, 2012).
Pada konteks eksperimen Sherif, awalnya kedua kelompok eksperimen (anak-anak
pramuka), memiliki karakteristik homogen, sebelum adanya pengelompokan baru dan
pemberian kompetisi. Artinya, kelompok yang homogen pun dapat berkonflik.
Ketika perpecahan dapat terjadi dalam kelompok homogen, lantas
bagaimana dengan kelompok majemuk? Ambil contoh di Jakarta, dengan penduduk
lebih dari 9 juta jiwa, merupakan tempat berkumpulnya lebih dari 300 suku,
namun konflik yang lebih sering terdengar adalah tawuran. Oleh karena itu,
dalam ilmu sosial, hampir tak mungkin mewujudkan analisis perdamaian yang
komprehensif, kecuali ambivalensi antara konsep dan fenomena yang ada. Mungkin
benar adanya, bahwa analisis perdamaian akan selalu bersifat kontekstual.
Perwujudan perdamaian dalam konteks Indonesia juga mengalami banyak
jenis penyelesaian. Gerakan-gerakan separatis seperti Gerakan Aceh Merdeka,
Operasi Papua Merdeka, dan Republik Maluku Selatan, menempuh penyelesaian
dengan mediasi hingga penyerangan. Tragedi Poso tahun 1998 harus mengalami
proses rekonsiliasi yang lama terlebih dahulu. Indonesia sebagai negara yang
memiliki banyak masyarakat dan budaya, memiliki kesulitan tersendiri dalam
mencegahnya munculnya konflik-konflik serupa kembali terjadi.
Antara hak dan kewajiban
Hak atau kewajiban. Right or obligation, merupakan dua
konsep yang dikenal dalam model kemasyarakatan. Merriam-Webster Dictionary
(2015) mencatat right sebagai sesuatu yang bisa didapatkan atau
dilakukan orang secara legal di mata hukum, sementara obligation adalah yang
harus dilakukan. Ada apa dengan kedua konsep ini dan hubungannya dengan
perdamaian dan masyarakat pluralistik?
Indonesia, setelah proklamasi kemerdekaannya di tahun 1945,
memiliki dasar-dasar bernegara yang kemudian disepakati dan dipatuhi oleh
seluruh golongan suku. Pada penetapan dasar-dasar bernegara, ada
ketetapan-ketetapan yang disepakati bersama untuk menghindari kesalahpahaman
dan perikaian antarpihak. Dengan kata lain, seluruh bagian dari Indonesia telah
tunduk pada satu hukum yang baru, yang memberikan hak dan kewajiban pada
masyarakatnya.
Hak dan kewajiban secara umum merupakan persoalan yang pelik. Ia
berada dalam satu budaya tertentu, dimana manusia menurut konsepsi budaya
tersebut dapat memperoleh, dan harus memberikan sesuatu. Konsepsi ini jelas
berbeda di antara satu kelompok dan kelompok lainnya. Lantas, dalam masyarakat
yang bercampur persepsi, apakah yang “memerintahkan” adanya hak dan kewajiban
atas mereka?
Naungan hak dan kewajiban, selama ini disepakati dan diawasi oleh
pemerintah dan masyarakat, sementara itu, manusia juga kerap mendapatkan
perbedaan perlakuan di satu tempat dan tempat yang lain, bagaimana cara agar
manusia tetap hidup dalam damai? Dalam rangka usainya Perang Dunia II, UN
(United Nations/PBB) menciptakan hak asasi manusia atau human rights,
yang merupakan konsep kebenaran yang dirundingkan para pendirinya, yang masih
belum memperhitungkan negara-negara yang masih berstatus sebagai jajahan atau
koloni (Zarkasyi, 2011). Oleh karena itu, meskipun UN telah mengeluarkan
deklarasi HAM, masih banyak diperdebatkan, dan akhirnya diadaptasi oleh
masing-masing negara.
Konsep awal hak untuk manusia adalah hak untuk hidup dan
berkembang. Namun, untuk hidup dan berkembang, ia memerlukan label dan
keikutsertaan pada nilai tertentu, dan perlu diberikan atribut tertentu agar ia
berkembang dalam suatu sistem nilai. Perkembangan inilah yang “memberikan”
kewajiban pada individu. Pertanyaannya, dalam konteks masyarakat multikultural
yang penuh dengan perbedaan persepsi, mungkinkah hak dan kewajiban ini diwujudkan?
Hak dan kewajiban sangat berkaitan terhadap upaya manusia dalam
menghindari konflik antar sesamanya. Dalam sebuah struktur, manusia
diperbolehkan berbuat sesuatu, dan tidak diperbolehkan melakukan sesuatu, untuk
menciptakan keteraturan. Keteraturan ini merupakan konsekuensi logis dari
keinginan manusia untuk mendapatkan hidup yang damai. Sebagai contoh mudah,
dalam pelajaran Kewarganegaraan, pemerintah telah menerangkan dengan baik
perkara kepentingan melakukan kewajiban, untuk mendapatkan hak.
Inilah ajaran konsekuensi. Untuk mencari perdamaian, masyarakat
harus merelakan keinginan pribadi untuk ditukar dengan kepentingan umum,
sementara kepentingan umum harus ditelaah dengan baik, hingga tak mengganggu
kepentingan individu. Dalam memahami konsep hak dan kewajiban, dapat terlihat
ada bumbu sosialis. Penekanan hak umum. Namun, hal ini berbeda dengan konsep
hak dan kewajiban yang ditanamkan dalam individu.
Konsep hak dan kewajiban individu perlu dilihat sebagai upaya
penghindaran konflik, menahan perilaku yang tak sesuai dengan sistem nilai yang
disepakati untuk menghasilkan perdamaian, atau secara khusus, menghasilkan
kondisi yang diinginkan masyarakat. Permasalahan diskrepansi antara hak dan
masyarakat akan selalu berulang, oleh karena itu, setiap individu perlu
menyadari posisinya sebagai seorang yang bisa mendapatkan hak tanpa rasa
bersalah, ketika sudah memberikan kewajibannya.
Perilaku menahan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan, dapat
dikaji dalam perspektif behavioristik. Individu akan mendapatkan hadiah berupa
kedamaian secara sosial, ketika ia menahan perilaku yang berlawanan dengan
norma. Perlawanan norma ini perlu ditelaah mendalam di konteks Indonesia.
Pada perkembangan sistem hukum di Indonesia, telah terdapat
afirmasi sistem nilai antara masing-masing suku, pada satu sistem pemerintahan
yang diakui seluruh masyarakat secara legal. Adanya perlawanan norma, merupakan
hal yang biasa terjadi, oleh karenanya tak dapat dilihat sebagai pemikiran yang
subversif. Hak dan kewajiban penduduk Indonesia sebagai manusia yang hidup
berdampingan dengan kelompok-kelompok lain yang berbeda pendapat atas
pemahaman, memiliki subordinate goal yang sama, ujar Sherif, menuju
kehidupan bermasyarakat yang damai. Tantangan perdamaian, terletak pada konsep subordinate
goal yang tak sesuai dengan norma sosial yang berlaku, juga saat ada oknum
dalam masyarakat yang melakukan penghasutan terhadap penolakan subordinate
goal.
Penataan masyarakat, terlebih lagi kepada individu, untuk menyadari
kondisi goal bukanlah hal yang mudah. Masyarakat dan individu saling
memengaruhi untuk memiliki pemikiran terhadap subordinate goal. Oleh
karena itu, dalam masyarakat bersifat plural, kebutuhan individu yang utama
ialah menyadari diskrepansi konsep hak dan kewajibannya dari perspektif subordinate
goal dan nilai pribadi. Penilaian pribadi yang sesuai dengan subordinate
goal, akan dikembangkan sebagai virtue masing-masing dalam memandang
kebersamaan.
Memanusiakan manusia. Istilah tersebut pernah saya temui di sebuah
buku, mengartikan bahwa manusia perlu menyadari kembali eksistensinya sebagai
sebuah makhluk yang berpikir. Pemikiran inilah yang sekiranya dapat digalakkan
mendampingi pengembangan virtue individual terhadap nilai masyarakat
umum. Eksistensi manusia dalam sebuah sistem itu tak terelakkan, melawan norma
berpotensi menghancurkan diri dan negara, namun melenyapkan diri dalam
kehambaan sistem menjadikan manusia terpuruk. Saat itulah virtue dapat
hadir dan meregulasi diri. Bahwa ada perbedaan yang dapat diperjuangkan dan ada
persamaan yang perlu digalakkan. Pemahaman antar kedua hal inilah yang akan
merubah konsep perdamaian menjadi sesuatu yang lebih otoritatif, namun lebih
afirmatif.
Daftar
pustaka
Anderson, R. (2004). A definition of peace. Peace and Conflict:
Journal of Peace Psychology, 10(2), 101-116.
doi:http://dx.doi.org/10.1207/s15327949pac1002_2
Ariyanto, A.A. (2012). Hubungan antarkelompok. Dalam S.W. Sarwono
& E.A. Meinarno (Ed.). Psikologi sosial (h. 245-262). Jakarta:
Penerbit Salemba Humanika
Feist,
J., Feist, G. J., Robets, T. A. (2013). Theories
of personality. Singapore: McGraw Hill Companies, Inc.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2015).
Plural. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diunduh dari
http://kbbi.web.id/plural
Merriam-Webster. (2015). Obligation Merriam-Webster Online
Dictionary. Diunduh dari http://www.merriam-webster.com/dictionary/obligation
Merriam-Webster. (2015). Right (2). Merriam-Webster Online
Dictionary. Diunduh dari http://www.merriam-webster.com/dictionary/right
Miller, P. H. (2011). Theories
of developmental psychology (5th ed.). New York: Worth
Zarkasyi, H.F. (2011). Islam, HAM, dan kebebasan beragama.
Jakarta: INSISTS
Ditulis oleh:
Dito Aryo Prabowo
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Pemenang Pertama PSYCHOESSAY 2015